Nama : Grace Patricia Samosir
Ting/Jur : III-B/Teologi
M. Kul : Filsafat Timur Barat
Dosen :
Pdt. Dr. Jadiaman Peragin-angin Perbaikan
Filsafat Jawa Batak
I.
Pendahuluan
Negara
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai ragam budaya, suku dan bahasa. Dari
keanekaragaman ini banyak hal yang dapat digali mengenai pandangan hidup yang dijadikan
falsafah hidup. Dalam sajian kali ini kita akan membahas mengenai fisafat
(pandangan hidup) dalam suku Jawa dan Batak. Semoga sajian ini dapat menambah
wawasan kita.
II.
Pembahasan
2.1
Filsafat
Jawa
2.1.1
Gambaran umum Masyarakat Jawa
Kata
Jawa berasal dari ‘arjawam’ berasal
dari bahasa Sansekerta yang artinya jujur,
rendah hati. Selain itu kata Jawa juga memiliki kata khusus yaitu ‘kadar
moralitas dan kesusilaan seseorang’. Sehingga dengan demikian saat diputuskan
Jawa sebagai nama pulau, ada suatu harapan para leluhur semoga penghuninya
kelak mempunyai moral yang tinggi, bersifat jujur dan rendah hati. Pulau Jawa
merupakan daerah yang sangat subur, hal ini disebabkan karena timbunan abu dari
letusan gunung merapi di Jawa Tengah dan di Jawa Timur. Mata pencaharian utama
masyarakat Jawa adalah bertani dan padi merupakan hasil utama pertanian sawah
yang diairi dan juga seperti jagung, palawija, dan ubi kayu.[1]
Secara
sosial, masyarakat Jawa dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yaitu
wong gede (orang besar), yang terdiri dari priyayi (bangsawan) yang pada
umumnya merupakan pejabat pemerintah, pegawai dan orang-orang intelektual.
Kelompok kedua yaitu wong cilik yang dibagi menjadi strata-strata berdasarkan
kepemilikan tanah, yaitu: pondok adalah imigran; yang tidak memiliki tanah
maupun rumah. Lindung adalah penduduk desa yang tidak memiliki tanah tetapi
memiliki rumah. Dan kuli adalah pemilik tanah yang pada umumnya keturunan
pendiri desa dan yang dihormati.[2]
2.1.2
Rumusan
Filsafat Jawa
Istilah
filsafat berasal dari bahasa Yunani ‘philosophia’ yang artinya cinta kearifan,
cinta akan kebijaksanaan. Filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha
agung dan usaha-usaha untuk mencapai hal tersebut. Bagi filsafat Jawa bahwa
pengetahuan (filsafat) senantiasa hanya merupakan sarana untuk mencapai
kesempurnaan sehingga dalam bahasa Jawa filsafat Jawa disebut ‘ngudi
kasampurnaan’. Untuk mengetahui lebih mengenai filsafat Jawa, maka dapat
dipergunakan istilah jembatan keledai yang terdiri dari abjad Jawa (ke-5 huruf pertama dari abjad
Jawa) HaNaCaRaKa.
Ha : Hurip, Urip =
hidup, suatu sifat zat yang Maha Esa
Na : Hana =
ada, ada alam semesta dan manungsa= manusia
Ca : Cipta =
pikir, nalar, akal (thinking)
Ra : Rasa =
perasaan (feeling)
Ka : karsa =
kehendak (willing)
Dari
uraian di atas maka dapat dilihat bahwa HaNaCaRaKa merupakan suatu kesatuan yaitu:
ada semesta, yang mutlak, yang esa, Tuhan dengan alam semesta dan manusia
merupakan suatu kesatuan. Dalam filsafat Jawa dapat dikatakan bahwa manusia
selalu berada dalam hubungan dengan lingkungan yaitu Tuhan dan alam semesta dan
manusia menyadari kesatuannya. Maka bagi filsafat Jawa, manusia adalah:
manusia-dalam-hubungan. Demikian juga halnya dalam menggunakan kodrat
kemampuannya selalu diusahakan kesatuan cipta-rasa dan karsa.[3]
Menyeimbangkan
diri sendiri sangat sulit. Bagi orang Jawa hal yang terpenting untuk mencapai
itu semua adalah dengan cara belajar.
2.1.3 Filsafat Dalam Masyarakat Jawa
a.
Metafisika
Orang
jawa menganggap Tuhan adalah sebagai hasil pemikiran ataupun sebagai hasil
pengalaman atau penghayatan manusia. Hasilnya dapat dinyatakan dengan kata dan
tersusun secara sistematis. Ciri-ciri dasarnya adalah:
-
Tuhan adalah alam
semesta
-
Alam semesta merupakan
pengejawantahan Tuhan
-
Alam semesta dan
manusia merupakan suatu kesatuan yang biasanya disebut dengan kesatuan
makrokosmos dan mikrokosmos.
·
Tuhan
Dalam
filsafat Jawa, Tuhan adalah Sangkan paraning dumadi dan manungsa, yang artinya
manusia pada awalnya berasal dari Tuhan dan akhirnya akan kembali lagi pada
Tuhan. Tuhan dihayati sebagai Dzat yang
maha kuasa, yang tidak dapat digambarkan bagaimana wujud dan keadaannya. Tuhan
tidak dapat dilukiskan dan tidak dapat dibayangkan (tan kena kinayangapa)
seperti apapun, dekat tiada bersentuh, jauh tiada perbatasan.[4]
Atau dalam filasat Barat disebut imanen dan transenden.
·
Manusia
Manusia
dalam pandangan Jawa memiliki unsur-unsur dualistik, yaitu: jasmani dan rohani.
Unsur jasmani terdiri atas Kakang Kawah, adhi ari-ari (ketuban dan plasenta),
lobang sembilan dan panca indra. Sedangkan unsur rohani terdiri atas: nafsu
empat (Mutmainah, Amarah, Lauwamah, Supiah); aku (ego) dengan kodrat kemampuan
cipta rasa karsa; pribadi (self); sukma sejati sebagai penuntun aku. Sukma sejati merupakan percikan Tuhan.[5]
·
Alam
semesta
Dalam
filsafat Jawa atau alam pikiran orang Jawa, kehidupan manusia berada dalam dua
kosmos (alam), yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos dalam pikiran
orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup alam semesta yang mengandung
kekuatan supranatural penuh dengan hal-hal yang bersifat misterius. Sedangkan
mikrokosmos adalah sikap dan pandangan hidup dalam dunia nyata. Tujuan utama
dalam hidup adalah mencari serta menciptakan keseimbangan ataupun keselarasan
antara kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam makrokosmos pusat alam
semesta adalah Tuhan. Alam semesta memiliki hirarki yang ditunjukkan dengan
jenjang alam kehidupan orang Jawa dan adanya tingkatan dunia yang semakin
sempurna (dunia atas-dunia manusia-dunia bawah) satu pusat yaitu yang mempersatukan
dan memberi keseimbangan.
b.
Epistemologi
Epistemologi
mempelajari proses untuk memperoleh pengetahuan dengan mempergunakan kodrat
kemampuan manusia. Pada hakekatnya terdapat tahap penggunaan cipta-rasa-karsa
melalui tingkat kesadaran:
-
Kesadaran panca indrawi
atau aku (ego)
-
Kesadaran hening;
manunggal dalam cipta-rasa-karsa
-
Kesadaran pribadi(
ingsun, sukma sejati); manunggal aku pribadi (self)
-
Kesadaran Ilahi;
manunggal aku-pribadi-sukma kawekas
Kemampuan
cipta-rasa-karsa dalam kehidupan sehari-hari diusahakan dapat bersatu untuk
diwujudkan dalam kata, ucapan dan
perbuatan. Dengan demikian akan diperoleh pengetahuan mutlak atau
kewicaksanaan. Dalam hal ini berlaku ungkapan ‘pikir dulu sebelum bertindak’.
c.
Axiologi
Filsafat
nilai terbagi dua: estetika (keindahan) dan etika. Pada zaman Jawa-Hindu
keindahan dianggap sebagai pengejahwantahan dari yang mutlak. Pada zaman
Jawa-Islam yang termasuk dalam keindahan ada empat sifat yaitu: agung, elok,
wisesa (kuasa) dan kamal (sempurna). Dalam filsafat Jawa baik-buruk dianggap
tidak lepas dari esensi manusia yang terjelma di dalam berbagai keinginan dan
dikaitkan dengan empat nafsu: mutmaimah, amarah, lawwamah, dan supiah.
Keinginan yang baik akan selalu berhadapan dengan keinginan buruk. Kesusilaan
tidak terlepas dari laku dalam perjalanan menuju kesempurnaan.
2.1.4
Wayang
Sebagai Cara Penuturan Filsafat Jawa
Wayang
merupakan cabang kesenian yang berkaitan dengan filsafat yaitu seni widya
(filsafat dan pendidikan). Pertunjukan wayang merupakan suatu perbuatan
religius yang cocok sekali untuk menerangkan hal-hal ilahi. Artinya pertunjukan
wayang mengacu kepada tontonan dan tuntunan. Seorang dalang harus memiliki
kualitas diri, ia harus mahir dalam memberikan pelajaran. Tugas dalang bukan
hanya sebagai penghibur tetapi juga sebagai komunikator, penyuluh, guru dan
yang sangat diharapkan adalah sebagai rohaniawan yang selalu mengajak
masyarakat berbuat baik dan menghindari kejahatan.[6]
Wayang menggambarkan kehidupan manusia, kelir menggambarkan pentas kehidupan
dan balencong menggambarkan hidup itu sendiri. Pentas kehidupan hanya
berlangsung ketika balencong menyala dan akan diakhiri ketika balencong
dipadamkan.
2.1.5
Ngelmu
Sebagai Pandangan Hidup Jawa.
Filsafat
Jawa dibangun untuk keselarasan, bukan dalam arti pasif tetapi aktif karena
tidak hanya menerima keselarasan, itulah sebabnya di Jawa ada ngelmu (ilmu).
Dalam ngelmu lebih mengutamakan rasa, dalam arti luas yaitu meliputi kekuatan
berpikir, rasa dan kemauan. Ada filsafat
Jawa yang mengatakan ‘ngelmu iku kalakone
kanthi laku, lekase lawan kas. Tegese kas nyamkosani, setya budya pangekese dur
angkara’ yang artinya ngelmu itu hanya dicapai dengan laku (mujahadah),
dimulai dengan niat yang teguh, menjadi sentosa dan iman yang teguh untuk
mengatasi godaan atau kejahatan. Hal ini dapat disamakan dengan ungkapan jer basuki mawa beya (keberhasilan
seseorang diperoleh dengan pengorbanan). Di dalam ngelmu inilah mereka akan
mencapai ngudi kesempurnaan, karena keselarasan bukan hanya berada di luar
tetapi juga di dalam dirinya.[7]
Kehidupan
manusia menjadi berarti berpegang pada empat hal yaitu: ilmu, ngelmu, pranyana
dan pangangkah. Ilmu (kawruh) dibedakan dengan ngelmu (wrushing kawruh). Kawruh
adalah pemahaman (lebih dititik beratkan secara batiniah) mengenai keberadaan
semesta, termasuk diri manusia sendiri. Sedangkan wrushing kawruh (memahami
pengertian) lebih merupakan terapan atau
cak-cakaning kawruh (penerapan pengertian), yang di dalamnya tercakup wicaksana
(bijaksana), weweka (cerdik, penuh perhitungan) dan panggraita (ketajaman
instuisi). Keempat hal tersebut merupakan suatu kesatuan dalam menentukan nering ngaurip (arah kehidupan). Ilmu dan
ngelmu tidak semata-mata diperoleh dari wejangan guru, melainkan harus pula
digapai melalui laku, yang diawali dengan kebulatan hati yang memberikan
kekuatan. Tekat hati akan mengalahkan sifat jahat dan angkara. Laku harus
dijalankan dengan ketetapan hati dengan teratur.
2.1.6
Filsafat
Kepemimpinan Bagi Suku Jawa
Dalam
budaya Jawa sebenarnya sangat sarat dengan filsafat hidup. Ada yang disebut
Hasta Brata yang merupakan teori kepemimpinan berisi mengenai hal-hal yang
disimbolisasikan dengan benda atau kondisi alam seperti Surya, Candra, Kartika,
Angkasa, Maruta, Samudra, Dahana, dan Bhumi.
1. Surya
(Matahari), memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan. Pemimpin
hendaknya mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa
dan negaranya.
2. Candra
(Bulan), yang memancarkan sinar di tengah kegelapan malam. Seorang pemimpin
hendaknya mampu memberi semangat kepada rakyatnya di tengah suasana suka
ataupun duka.
3. Kartika
(Bintang), memancarkan sinar kemilauan, berada di tempat tinggi hingga dapat
dijadikan pedoman arah, sehingga seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan
bagi orang lain untuk berbuat kebaikan.
4. Angkasa
(Langit), luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang
padanya. Prinsip seorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan
kemampuan mengendalikan diri dalam menampung pendapat rakyatnya yang
bermacam-macam.
5. Maruta
(Angin), selalu ada di mana-mana tanpa membeda-bedakan tempat serta selalu
mengisi semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan
rakyat tanpa membedakan derajat dan martabatnya.
6. Samudera
(Laut/air), betapapun luasnya, permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk
menyegarkan. Pemimpin hendaknya bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya.
7. Dahana
(Api), mempunyai kemampuan yang bersentuhan dengannya, seorang pemimpin
hendaknya berwibawa dan berani, menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang
bulu.
8. Bhumi
(bumi/tanah), bersifat kuat dan murah hati selalu memberi hasil kepada yang
merawatnya, pemimpin hendaknya bermurah hati (melayani) pada rakyatnya untuk
tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya.
Melalui
teori kepemimpinan itu, masyarakat Jawa selalu berupaya keras untuk memberikan
yang terbaiik di dalam hidupnya, karena masyarakat Jawa telah hidup di dalam
konsep kepemimpinan di atas selama beratus-ratus tahun.[8]
Dalam
masyarakat Jawa juga ada pandangan hidup yang berkaitan dengan ikatan relasi yaitu:
‘makan gag makan yang penting ngumpul’. Filsafat ini menunjukkan hubungan
relasi yang tidak melihat dirinya sendiri tetapi ada hubungan satu sama lain.
Menekankan kebersamaan. Ada juga filsafat yang menekankan kesetiaan seorang
istri terhadap suaminya yaitu: suargo nunut neroko kitut ( ke surga ikut ke
neraka juga ikut).
2.2
Filsafat
Batak
2.2.1
Gambaran Umum Masyarakat Batak
Ada
enam suku di dalam masyarakat Batak, yaitu suku Karo, Pakpak atau Dairi,
Simalungun, Toba, Angkola, dan suku Mandailing, yang masing-masing mempunyai
bahasa atau dialek. Suku Batak sudah mempunyai kebudayaan sendiri. Di antara
benda-benda yang memiliki pengaruh dalam hidupnya adalah aksara Batak sendiri.[9]
Pada zaman dahulu hanya para datulah yang mengenal surat Batak, ada dua macam
surat yang dikenal orang dan keduanya dapat dibaca oleh datu itu. Jenis yang
pertama ialah surat biasa yaitu ‘surat’ yang terdiri dari matani surat (huruf
atau aksara) dan jenis yang kedua adalah ‘surat ni tangan’ (garis-garis telapak
tangan manusia).[10]
2.2.2
Dalihan Na Tolu
a.
Pengertian Dalihan Na Tolu
Dalihan
na tolu (DNT) juga disebut dalihan nan tungku tiga (tungku nan tiga). [11]
DNT adalah suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada
suku Batak yang juga mengikat pola kehidupan. Ada tiga unsur hubungan kekeluargaan dalam DNT yang sama
dengan tungku sederhana dan praktis yang terdiri dari 3 batu besar. Ketiga
unsur hubungan kekeluargaan itu adalah:
1. Dongan
sabutuha (teman semarga)
2. Hula-hula
(keluarga dari pihak istri)
3. Boru
(keluarga dari pihak menantu laki-laki)
Dalihan
memiliki istilah ‘si dua uli songon na mangkaol dalihan, masak sipanganon huhut
malum na ngalian’ yang artinya ‘tungku ini memiliki dua kegunaan yang baik
untuk memasak dan menghilangkan rasa dingin’. Sistem sosial dalihan natolu turun
dari sistem kosmos yang di atasnya. Sistem kosmos ini merupakan totalitas tiga
dunia: banua ginjang (dunia atas), banua tongah (dunia tengah) dan banua toru
(dunia bawah). Sistem kosmos ini turun kepada system dan eksistensi manusia.
Mereka memahami bahwa manusia adalah satu totalitas dari ketiga unsur: tondi
(roh), hosa (nyawa) dan sibuk (tubuh). Sistem inilah yang menurunkan sistem dan
struktur kemasyarakatan dalihan na tolu.[12]
b. Sejarah
Dalihan Na Tolu
Istilah
Dalihan na tolu lahir dan terbentuk dalam sejarah Batak Toba setelah adanya
perkawinan antara sesama saudara dalam kalangan nenek moyang masyarakat Toba. Akibatnya
dalam perkembangan selanjutnya, praktek dan sistem kemasyarakatan ini ditetapkan oleh raja Batak sebagai sistem
kemasyarakatan Batak Toba.[13]
Dalihan na tolu artinya tungku yang
berkaki tiga, bukan berkaki empat atau lima. Tungku yang berkaki tiga sangatlah
membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika salah satu dari kaki rusak masih
dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan
tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin
terjadi. Inilah yang dipakai leluhur suku Batak sebagai falsafah hidup dalam
tatanan kekerabatan antara sesama bersaudara, dengan hula-hula dan boru. Perlu
keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga
keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah
menjadi hula-hula, pernah menjadi boru dan pernah menjadi dongan tubu.[14]
Dalihan natolu berhubungan juga dengan kepercayaan masyarakat Batak Toba,
kepercayaan tritunggal dewa yaitu: Mula Jadi Nabolon (khalik pencipta), Silaon
Na Bolon dan Pane Bolon atau Batara Guru. Ketiga dewa ini melukiskan alam
kosmos. Sebagaimana manusia itu tidak terlepas dari alam.
Sejarah
lahirnya dalihan na tolu dalam masyarakat Batak Toba selain akibat dari
perkawinan sesama saudara kandung pada masa nenek moyang, ada juga kaitannya
dengan kepercayaan masyarakat Batak Toba yaitu kepercayaan tritunggal dewa.
c.
Filsafat
Dalihan na Tolu
Filosopi
dalihan na tolu dikenal dengan istilah:
-
Sombah marhula-hula
(bersifat hati-hati). Hula-hula adalah orang tua wanita yang dinikahi oleh
seorang pria, namun hula-hula ini dapat diartikan secara luas. Semua saudara
dari pihak istrinya. Hula-hula diibaratkan dewata yang nampak di mana ia bisa
memberikan berkat melimpah dan restu bagi kehidupan kita. Itulah sebabnya
mengapa hula-hula harus dihormati dan harus berbakti kepadanya. Melemparkan
batu misalnya ke atas bukit, maka batu akan jatuh kembali kepada kita dan
mungkin pula batu itu waktu jatuh membuat batu-batu lain turut berjatuhan ke
kita. Serupa itulah yang berlipat ganda dari hula-hula jika kita memberi jasa
kepada mereka.
Filsafat batak mengenai hula-hula
berbunyi: sigatoon lailai do na
marhula-hula. Artinya serupa dengan anak ayam yang waktu menentukan
kelaminnya, kita memeriksa ekornya. Maka kita pun harus mempelajari hula-hula
bagaimana sifat-sifat dan kemauannya dan hasilnya dapat dipakai nantinya
sebagai pedoman dalam pergaulan kita dengan mereka. Filsafat kedua berbunyi : na mandanggur tu dolok do iba molo
mangalehon tu hula-hula yang artinya memberi jasa kepada hula-hula sama
dengan melempar ke atas bukit, hal itu akan kembali kepada kita.[15] Filsafat
yang ketiga berbunyi Hula-hula I do
debata na tarida yang artinya
hula-hula adalah dewata yang nampak. Maksud filsafat itu telah menjadi darah
daging bagi orang Batak yang menyebabkannya selalu menghormati benar
hula-hulanya.
-
Elek marboru (bersifat
mengayomi/membujuk) boru adalah anak perempuan dari satu marga, misalnya boru
Samosir adalah anak perempuan dari marga Samosir. Dalam istilah luas, istilah
boru bukan berarti anak perempuan saja tetapi dari marga tersebut. Elek marboru
artinya harus dapat merangkul boru. Hal ini melambangkan kedudukan seorang
wanita dalam lingkungan marga tersebut. Selain itu, boru juga berkewajiban
menghilangkan keretakan (sebagai pemersatu) dalam rumah hula-hulanya. Sama
seperti balok bumbungan rumah yang mempersatukan kedua belah atap rumah. Sudah
tentu boru dalam hal ini “naik derajat” menjadi “raja penghukum” dan memang ia
diperlakukan oleh hula-hula yang bersangkutan demikian dan akan mempersilahkan boru itu duduk “di
juluan” (tempat duduk yang terhormat). Namun boru yang memegang adat teguh
tidak mungkin menerima ajakan itu dan akan tetap mempertahankan tempat duduk di
“talaga” (bagian tempat duduk untuk boru). Dan justru sikap seperti itulah yang
membuat naik derajat boru di dalam pandangan hula-hulanya yang tentu mengingat
filsafat “lam unduk do biur ni eme lam marisi” (padi itu makin berisi makin
merunduk). Akibatnya makin bertambah respek (penghargaan dan penghormatan)
hula-hula itu terhadap usul-usul penyelesaian sengketa yang diusulkan oleh boru
itu.
Filsafat
pertama : ”Bungkulan do boru” yang
artinya boru itu adalah bubungan (bubungan rumah). Maksud dari filsafat ini
adalah : kalau ada perselisihan di antara hula-hula yang membuat keretakan di antara
mereka itu maka “boru-lah” yang berkewajiban menghilangkan keretakan agar
mereka yang berselidih itu kembali kompak dan bersatu.
Filsafat
kedua : “during do boru tombularan hula-hula” yang artinya boru itu adalah alat
yang menangkap ikan dan hula-hula adalah tempat mengumpulkan dan menyimpankan
ikan yang tertangkap. Maksudnya boru itu haruslah menganggap dirinya
berkewajiban benar menolong hula-hulanya dalam segala hal. Terlebih dalam adat
istiadat. Hula-hula itu dari pihaknya boleh berpendapat bahwa ia berhak
menerima sumbangan dari borunya.[16]
-
Manat mardongan tubu
(bersifat hormat). Dongan tubu adalah saudara-saudara semarga. Manat mardongan
tubu atau dongan sabutuha melambangkan hubungan dengan saudara semarga. Kemanapun
dan di manapun mereka, jika mereka adalah semarga maka itulah yang dianggap
dongan tubunya. Tentang dongan tubu sabutuha berlaku semboyan : “sekali dongan
sabutuha tetap dongan sabutuha” karena kita tidak bisa berpindah-pindah marga
sekalipun kita bermusuhan dengan banyak teman semarga kita. Filsafat Batak
tentang dongan sabutuha berbunyi : “tumpulon aek do na mardongan sabutuha” yang
artinya ber- “dongan sabutuha “ sama dengan sifat air, biar berkali-kali
dipotong tetap bertemu dan bersatu. Filsafat kedua berbunyi suhar bulu ditait, laos suhar do taitton
yang artinya walaupun teman semarga kita menarik bambu dengan cara yang terang
salah, namun kita harus menolong dan turut menarik bambu itu dengan cara yang
salah itu. Maksudnya adalah bahwa yang ‘mardongan tubu’ itu harus menjungjung
tinggi dan memelihara kesatuan dan solidaritas, sikap inilah yang ditekankan
dari manat mardongan tubu.
d.
Pandangan
batak mengenai kehidupan
Nilai-nilai
budaya yang menjadi tujuan dan pandangan hidup ideal asli orang Batak
dirumuskan di dalam rangkaian tiga kata yang secara eksistensial saling
mendukung, yaitu prinsip di dalam kehidupan orang Batak adalah :
1. Hamoraon
(kekayaan)
2. Hagabeon
(panjang umur dan banyak keturunan)
3. Hasangapon
(kehormatan).
Metode
pencapaian hidup ini diatur oleh struktur sosial “dalihan na tolu” sebagaimana
dijelaskan di atas, yang keberadaannya berdasarkan sistem garis keturunan
patrilinear (garis bapak) terwujud marga. Kemudian, aplikasi struktur itu
dijabarkan di dalam sistem sosial berupa tatanan adat istiadat, kepercayaan dan
idealisme.
Dalam
falsafah hidup orang Batak, kekuasaan sangatlah penting. Hal ini tergambar dalam
tujuan hidup hamoraon, hagabeon dan
hasangapon. Yang sesungguhnya mengandung “esensi” kekuasaan. Kekayaan
digunakan untuk memperoleh status yang bermuatan kekuasaan. Maka semakin besar
kumulasi kekayaan niscaya semakin besar pula kekuasaan yang diperoleh. Itulah
sebabnya perebutan status dapat terlihat, antara lain pada persaingan
peningkatan-peningkatan pendidikan. Bagi orang batak, kekayaan (hamoraon ) tidaklah
merupakan fasilitas yang membedakan keinginan untuk berpendidikan tinggi. Semua
orang bersaing untuk memperoleh pendidikan status sosial formal. Karena
selanjutnya pendidikan dan status niscaya memberikan prestise dan kehormatan (hasangapon)
yang didambakan sebagai unsur kedua yang menjadi tujuan hidup mereka. Bahkan,
tingkat pendidikan cenderung mempengaruhi sikap dalam menentukan pilihan tempat
tinggal untuk menetap. Terdapat kecenderungan, semakin tinggi tingkat
pendidikan, semakin tinggi pula kecenderungan untuk meninggalkan kampung
halaman. Demikian juga untuk mempertahankan status, baik formal maupun
tradisional, orang Batak bersikap sangat aktif dan kritis. Baik mereka yang
kaya maupun yang miskin sama-sama berupaya mempertahankan statusnya dengan
gigih.
Demikian juga
halnya dengan yang memberi banyak keturunan yang disebut “Parbalga tubu” (keluarga besar). Dalam hal ini ungkapan yang mencerminkan
orang Batak yaitu: maranak sampulu pitu,
marboru sampulu onom (Mempunyai anak laki-laki 17 dan perempuan 16 orang). Memang
jumlah anggota keluarga besar merupakan idaman orang Batak hingga kini,
meskipun seiring waktu ukuran besar itu semakin berubah. Pada umumnya orang Batak masih berprinsip
bahwa meskipun kaya, namun jika tidak mempunyai keturunan, orang tidak
mempunyai kewenangan dalam acara atau upacara adat istiadat. Karena hanya orang
yang kaya dan berketurunanlah yang dipandang mampu dan layak memberi restu
kepada orang lain. Tapi kebalikannya, bila memiliki banyak keturunan dan miskin,
akan dianggap tidak terhormat dan karena itu memiliki kekuasaan. Karena itu
landasan kekuasaan adalah kekayaan dan keturunan, khususnya keturunan, orang Batak
mengenal pepatah yang berbunyi “anakkhonki do hamoraon di ahu, anakhonki do
hasangapon diahu, anakhonki do ummarga diau” senada dengan komponis terkenal
dari Nahum Situmorang dalam salah satu lagunya “hu gogo pe mansari, arian nang bodari holan pasingkolaon gellengki”,
terkait dengan kehormatan, kemajuan merupakan nilai-nilai yang mendorong orang Batak
pada umumnya cenderung mencari atau mencapai “harajaon” ini adalah unsur
politik orang batak.
III.
Refleksi
Kehidupan
ini seperti lautan yang terus datar namun selalu dan tidak pernah berhenti
bergelombang. Artinya walaupun kehidupan ini dapat berubah-ubah tiap situasi
dan kondisi pada setiap zaman, namun prinsip dan pola pikir haruslah tetap,
sehingga identitas itu jelas dan tidak abu-abu. Masyarakat Jawa dan Batak telah
memberikan sedikit keterangan bagi kita tentang bagaimana sikap dan pola hidup
serta pola pikir mereka atas dasar latar belakang mereka yang berbeda-beda.
Perlu sebetulnya bagi kita untuk belajar terhadap kedua pandangan hidup ini,
mengenai ethos kerja dan semangat memperjuangkan orang yang kita sayangi. Ethos
kerja dan memperjuangkan orang yang kita sayang merupakan hal yang boleh kita
tiru dan mengadaptasi pola pikir itu, ketika pola pikir kedua pandangan hidup
ini dapat kita terapkan maka sebenarnya kita sekarang sedang berada dalam proses
menuju keberhasilan dan proses menggapai cita-cita. Kedua pandangan hidup ini
tidaklah sulit untuk diadapatasi, karena pola pikirnya hampir sama dengan pola
pikir yang berada di Timur secara umum.
IV.
Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas maka kita dapat melihat bahwa filsafat Jawa itu mencakup
tentang metafisika, Epitemologi, Axiologi, dan filsafat kepemimpinan. Dan
filsafat batak itu mencakup tentang “dalihan na tolu” yang artinya tungku nan
tiga, serta pandangan hidup Batak pun sangat menekankan status, hal ini
dibuktikan dengan pandangan hidup “hamoraon, hagabeon, hasangapon”. Pandangan
hidup kedua filsafat ini merupakan pandangan yang sampai saat ini tetap
berkembang walaupun di sana-sini terdapat pergeseran-pergeseran.
V.
Daftar
Pustaka
Bangun Ruben., berteologi dalam konteks budaya Karo,
dalam Jurnal Teologi Tabernakel Edisi XXI Januari-Juni, 2008, Medan: STT Abdi
Sabda, 2008
Chomcai
Prachoom., Negara dan Bangsa,
Jakarta: PT. Widyadara, 1989
Citroprawiro
Abdullah., Filsafat Jawa, Jakarta:
Balai Pustaka, 1989
J. D. Gultom.,
Dalihan Na tolu Nilai Budaya Suku Batak,
Medan: CV. Armanda, 1992
Lumban Tobing Andar., makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak,
Jakarta: BPK-GM, 1996
M T., Sihombing, Filsafat Batak Tentang Kebiasaan-kebiasaan
Istiadat, Jakarta: Balai Pustaka, 2000
Siagian Bernad., Enkulturasi Iman-Etnografi Budaya Batak bagi
Pendidikan Iman kristen, Pematang Siantar: L-Sapa, 2009
Sinaga Salmon.,
Adat Ni Simalungun, tt: Presidium Partuhamaujana Simalungun, 2008
Soediman Partonadi Soetarman.,
Komunitas Sadrach dan Akar
Kontekstualnya: Suatu Ekspedisi Kekristenan Jawa Pada Abad XIX, Jakarta:
BPK-GM, 2001
Soekarno Setyodarmojo H.,
Menggali Filsafat dan Budaya Jawa,
Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007
Sujamto, Reorientasi dan revitalisasi Pandangan
hidup Jawa: Semarang: Dahara Prize, 1997
Sujamto,
Wayang dan Budaya Jawa, Semarang:
Dahara Prize, 1992
Sumber Internet:
Tn, ‘falsafah Jawa’ dalam http://kyaimbelling.wordpress.com/falsafah-orang-jawa/,
diakses pada tanggal 28 April 2012
Tn,
‘Dalihan Na Tolu’ dalam http:/catatan-pendek-.wordspress.com.dalihannatolu
diakses 30 April 2012
[1]
Prachoom Chomcai, Negara dan Bangsa,
Jakarta: PT. Widyadara, 1989, hlm. 219
[2]
Soetarman Soediman Partonadi, Komunitas
Sadrach dan Akar Kontekstualnya: Suatu Ekspedisi Kekristenan Jawa Pada Abad
XIX, Jakarta: BPK-GM, 2001, hlm, 13-14
[3]
Abdullah Citroprawiro, Filsafat Jawa,
Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 14-15
[4]
Sujamto, Reorientasi dan revitalisasi
Pandangan hidup Jawa: Semarang: Dahara Prize, 1997, hlm. 48
[5]Abdullah
Ciptoprawiro, Op. Cit . hlm. 23-25
[6]
Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa,
Semarang: Dahara Prize, 1992, hlm. 28
[7]
H. Soekarno Setyodarmojo, Menggali
Filsafat dan Budaya Jawa, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007, hlm. 172
[8] Tn,
‘falsafah Jawa’ dalam http://kyaimbelling.wordpress.com/falsafah-orang-jawa/,
diakses pada tanggal 28 April 2012
[9]
Andar Lumban Tobing, makna Wibawa Jabatan
Dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK-GM, 1996, hlm. 1
[10]
T. M. Sihombing, Filsafat Batak Tentang
Kebiasaan-kebiasaan Istiadat, Jakarta: Balai Pustaka, 2000, hlm. 135
[11]
Suku Karo juga memiliki sistem kekerabatan yang hampir serupa dengan Toba. Suku
Karo mempraktekkan sistem ‘sangkep si telu’. Jadi ada sistem sosial Karo
(kekerabatan) tersebut ada 3 tiang ‘hula-hula’ yaitu ‘kalimbubu’ sebagai pihak
yang dihormati, kemudian sumbayak (senina) sebagai pihak semarga
(sepengambilan, sipemeren, saudara sepupu) dan yang terakhir adalah ‘anak beru’
atau boru yaitu pihak si penerima gadis/istri. Dalam pesta kalangan suku Karo,
ketiga pihak ini harus diharapkan datang karena merekalah yang harus berembuk
menentukan besar kecilnya batang adat maupun bentuk adat pesta yang diadakan.
(lih. Ruben Bangun, berteologi dalam
konteks budaya Karo, dalam Jurnal Teologi Tabernakel Edisi XXI
Januari-Juni, 2008, Medan: STT Abdi Sabda, 2008, hlm. 40)
Demikian juga dalam suku Simalungun, mereka juga mengenal filsafat
‘tolu sahundulan’ yang artinya tiga pada satu tempat yaitu: sanina, tondong,
boru. Sanina adalah kerabat untuk mangambil keputusan; tondong adalah kerabat
untuk meinta nasihat; boru adalah kerabat untuk meminta pertolonga tenaga.
Namun dalam perkembangannya tolu sahundulan ini berkembang menjadi 5 yang
disebut ‘lima saodoran’ yaitu: suhut, tondong, boru, tondong ni tondong, anak
boru mintori (boru ni boru). (lih. Salmon Sinaga, Adat Ni Simalungun, tt: Presidium Partuhamaujana Simalungun, 2008,
hlm. 1-2)
[12] Bernad siagian, Enkulturasi Iman-Etnografi Budaya Batak bagi Pendidikan Iman kristen,
Pematang Siantar: L-Sapa, 2009, hlm. 93
[13]D.
J. Gultom, Dalihan Na tolu Nilai Budaya
Suku Batak, Medan: CV. Armanda, 1992, hlm. 38
[14] Tn,
‘Dalihan Na Tolu’ dalam http:/catatan-pendek-.wordspress.com.dalihannatolu
diakses 30 April 2012
[15]
T. M. Sihombing, Op. Cit, hlm. 9
[16] T . M Sihombing, Op-Cit, hlm. 77-78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar