Selasa, 22 Maret 2022

Filsafat Timur Barat: Filsafat Jawa Batak

 

Nama              : Grace Patricia Samosir

Ting/Jur         : III-B/Teologi

M. Kul            : Filsafat Timur Barat

Dosen              : Pdt. Dr. Jadiaman Peragin-angin                                          Perbaikan

Filsafat Jawa Batak

I.                   Pendahuluan

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari  berbagai ragam budaya, suku dan bahasa. Dari keanekaragaman ini banyak hal yang dapat digali mengenai pandangan hidup yang dijadikan falsafah hidup. Dalam sajian kali ini kita akan membahas mengenai fisafat (pandangan hidup) dalam suku Jawa dan Batak. Semoga sajian ini dapat menambah wawasan kita.

II.                Pembahasan

2.1  Filsafat Jawa

2.1.1 Gambaran umum Masyarakat Jawa

Kata Jawa berasal dari ‘arjawam’ berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya jujur, rendah hati. Selain itu kata Jawa juga memiliki kata khusus yaitu ‘kadar moralitas dan kesusilaan seseorang’. Sehingga dengan demikian saat diputuskan Jawa sebagai nama pulau, ada suatu harapan para leluhur semoga penghuninya kelak mempunyai moral yang tinggi, bersifat jujur dan rendah hati. Pulau Jawa merupakan daerah yang sangat subur, hal ini disebabkan karena timbunan abu dari letusan gunung merapi di Jawa Tengah dan di Jawa Timur. Mata pencaharian utama masyarakat Jawa adalah bertani dan padi merupakan hasil utama pertanian sawah yang diairi dan juga seperti jagung, palawija, dan ubi kayu.[1]

Secara sosial, masyarakat Jawa dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yaitu wong gede (orang besar), yang terdiri dari priyayi (bangsawan) yang pada umumnya merupakan pejabat pemerintah, pegawai dan orang-orang intelektual. Kelompok kedua yaitu wong cilik yang dibagi menjadi strata-strata berdasarkan kepemilikan tanah, yaitu: pondok adalah imigran; yang tidak memiliki tanah maupun rumah. Lindung adalah penduduk desa yang tidak memiliki tanah tetapi memiliki rumah. Dan kuli adalah pemilik tanah yang pada umumnya keturunan pendiri desa dan yang dihormati.[2]

 

2.1.2        Rumusan Filsafat Jawa

Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani ‘philosophia’ yang artinya cinta kearifan, cinta akan kebijaksanaan. Filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapai hal tersebut. Bagi filsafat Jawa bahwa pengetahuan (filsafat) senantiasa hanya merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan sehingga dalam bahasa Jawa filsafat Jawa disebut ‘ngudi kasampurnaan’. Untuk mengetahui lebih mengenai filsafat Jawa, maka dapat dipergunakan istilah jembatan keledai yang terdiri dari  abjad Jawa (ke-5 huruf pertama dari abjad Jawa) HaNaCaRaKa.

Ha : Hurip, Urip    = hidup, suatu sifat zat yang Maha Esa

Na : Hana              = ada, ada alam semesta dan manungsa= manusia

Ca  : Cipta             = pikir, nalar, akal (thinking)

Ra  : Rasa              = perasaan (feeling)

Ka : karsa              = kehendak (willing)

Dari uraian di atas maka dapat dilihat bahwa HaNaCaRaKa merupakan suatu kesatuan yaitu: ada semesta, yang mutlak, yang esa, Tuhan dengan alam semesta dan manusia merupakan suatu kesatuan. Dalam filsafat Jawa dapat dikatakan bahwa manusia selalu berada dalam hubungan dengan lingkungan yaitu Tuhan dan alam semesta dan manusia menyadari kesatuannya. Maka bagi filsafat Jawa, manusia adalah: manusia-dalam-hubungan. Demikian juga halnya dalam menggunakan kodrat kemampuannya selalu diusahakan kesatuan cipta-rasa dan karsa.[3]

Menyeimbangkan diri sendiri sangat sulit. Bagi orang Jawa hal yang terpenting untuk mencapai itu semua adalah dengan cara belajar.

2.1.3   Filsafat Dalam Masyarakat Jawa

a.      Metafisika

Orang jawa menganggap Tuhan adalah sebagai hasil pemikiran ataupun sebagai hasil pengalaman atau penghayatan manusia. Hasilnya dapat dinyatakan dengan kata dan tersusun secara sistematis. Ciri-ciri dasarnya adalah:

-          Tuhan adalah alam semesta

-          Alam semesta merupakan pengejawantahan Tuhan

-          Alam semesta dan manusia merupakan suatu kesatuan yang biasanya disebut dengan kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos.

·         Tuhan

Dalam filsafat Jawa, Tuhan adalah Sangkan paraning dumadi dan manungsa, yang artinya manusia pada awalnya berasal dari Tuhan dan akhirnya akan kembali lagi pada Tuhan.  Tuhan dihayati sebagai Dzat yang maha kuasa, yang tidak dapat digambarkan bagaimana wujud dan keadaannya. Tuhan tidak dapat dilukiskan dan tidak dapat dibayangkan (tan kena kinayangapa) seperti apapun, dekat tiada bersentuh, jauh tiada perbatasan.[4] Atau dalam filasat Barat disebut imanen dan transenden.

·         Manusia

Manusia dalam pandangan Jawa memiliki unsur-unsur dualistik, yaitu: jasmani dan rohani. Unsur jasmani terdiri atas Kakang Kawah, adhi ari-ari (ketuban dan plasenta), lobang sembilan dan panca indra. Sedangkan unsur rohani terdiri atas: nafsu empat (Mutmainah, Amarah, Lauwamah, Supiah); aku (ego) dengan kodrat kemampuan cipta rasa karsa; pribadi (self); sukma sejati sebagai penuntun aku.  Sukma sejati merupakan percikan Tuhan.[5]

·         Alam semesta

Dalam filsafat Jawa atau alam pikiran orang Jawa, kehidupan manusia berada dalam dua kosmos (alam), yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup alam semesta yang mengandung kekuatan supranatural penuh dengan hal-hal yang bersifat misterius. Sedangkan mikrokosmos adalah sikap dan pandangan hidup dalam dunia nyata. Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta menciptakan keseimbangan ataupun keselarasan antara kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam makrokosmos pusat alam semesta adalah Tuhan. Alam semesta memiliki hirarki yang ditunjukkan dengan jenjang alam kehidupan orang Jawa dan adanya tingkatan dunia yang semakin sempurna (dunia atas-dunia manusia-dunia bawah) satu pusat yaitu yang mempersatukan dan memberi keseimbangan.

b.      Epistemologi

Epistemologi mempelajari proses untuk memperoleh pengetahuan dengan mempergunakan kodrat kemampuan manusia. Pada hakekatnya terdapat tahap penggunaan cipta-rasa-karsa melalui tingkat kesadaran:

-          Kesadaran panca indrawi atau aku (ego)

-          Kesadaran hening; manunggal dalam cipta-rasa-karsa

-          Kesadaran pribadi( ingsun, sukma sejati); manunggal aku pribadi (self)

-          Kesadaran Ilahi; manunggal aku-pribadi-sukma kawekas

Kemampuan cipta-rasa-karsa dalam kehidupan sehari-hari diusahakan dapat bersatu untuk diwujudkan  dalam kata, ucapan dan perbuatan. Dengan demikian akan diperoleh pengetahuan mutlak atau kewicaksanaan. Dalam hal ini berlaku ungkapan ‘pikir dulu sebelum bertindak’.

c.       Axiologi

Filsafat nilai terbagi dua: estetika (keindahan) dan etika. Pada zaman Jawa-Hindu keindahan dianggap sebagai pengejahwantahan dari yang mutlak. Pada zaman Jawa-Islam yang termasuk dalam keindahan ada empat sifat yaitu: agung, elok, wisesa (kuasa) dan kamal (sempurna). Dalam filsafat Jawa baik-buruk dianggap tidak lepas dari esensi manusia yang terjelma di dalam berbagai keinginan dan dikaitkan dengan empat nafsu: mutmaimah, amarah, lawwamah, dan supiah. Keinginan yang baik akan selalu berhadapan dengan keinginan buruk. Kesusilaan tidak terlepas dari laku dalam perjalanan menuju kesempurnaan.

2.1.4        Wayang Sebagai Cara Penuturan Filsafat Jawa

Wayang merupakan cabang kesenian yang berkaitan dengan filsafat yaitu seni widya (filsafat dan pendidikan). Pertunjukan wayang merupakan suatu perbuatan religius yang cocok sekali untuk menerangkan hal-hal ilahi. Artinya pertunjukan wayang mengacu kepada tontonan dan tuntunan. Seorang dalang harus memiliki kualitas diri, ia harus mahir dalam memberikan pelajaran. Tugas dalang bukan hanya sebagai penghibur tetapi juga sebagai komunikator, penyuluh, guru dan yang sangat diharapkan adalah sebagai rohaniawan yang selalu mengajak masyarakat berbuat baik dan menghindari kejahatan.[6] Wayang menggambarkan kehidupan manusia, kelir menggambarkan pentas kehidupan dan balencong menggambarkan hidup itu sendiri. Pentas kehidupan hanya berlangsung ketika balencong menyala dan akan diakhiri ketika balencong dipadamkan.

2.1.5        Ngelmu Sebagai Pandangan Hidup Jawa.

Filsafat Jawa dibangun untuk keselarasan, bukan dalam arti pasif tetapi aktif karena tidak hanya menerima keselarasan, itulah sebabnya di Jawa ada ngelmu (ilmu). Dalam ngelmu lebih mengutamakan rasa, dalam arti luas yaitu meliputi kekuatan berpikir, rasa dan kemauan.  Ada filsafat Jawa yang mengatakan ‘ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas. Tegese kas nyamkosani, setya budya pangekese dur angkara’ yang artinya ngelmu itu hanya dicapai dengan laku (mujahadah), dimulai dengan niat yang teguh, menjadi sentosa dan iman yang teguh untuk mengatasi godaan atau kejahatan. Hal ini dapat disamakan dengan ungkapan jer basuki mawa beya (keberhasilan seseorang diperoleh dengan pengorbanan). Di dalam ngelmu inilah mereka akan mencapai ngudi kesempurnaan, karena keselarasan bukan hanya berada di luar tetapi juga di dalam dirinya.[7]

Kehidupan manusia menjadi berarti berpegang pada empat hal yaitu: ilmu, ngelmu, pranyana dan pangangkah. Ilmu (kawruh) dibedakan dengan ngelmu (wrushing kawruh). Kawruh adalah pemahaman (lebih dititik beratkan secara batiniah) mengenai keberadaan semesta, termasuk diri manusia sendiri. Sedangkan wrushing kawruh (memahami pengertian)  lebih merupakan terapan atau cak-cakaning kawruh (penerapan pengertian), yang di dalamnya tercakup wicaksana (bijaksana), weweka (cerdik, penuh perhitungan) dan panggraita (ketajaman instuisi). Keempat hal tersebut merupakan suatu kesatuan dalam menentukan  nering ngaurip (arah kehidupan). Ilmu dan ngelmu tidak semata-mata diperoleh dari wejangan guru, melainkan harus pula digapai melalui laku, yang diawali dengan kebulatan hati yang memberikan kekuatan. Tekat hati akan mengalahkan sifat jahat dan angkara. Laku harus dijalankan dengan ketetapan hati dengan teratur.

2.1.6        Filsafat Kepemimpinan Bagi Suku Jawa

Dalam budaya Jawa sebenarnya sangat sarat dengan filsafat hidup. Ada yang disebut Hasta Brata yang merupakan teori kepemimpinan berisi mengenai hal-hal yang disimbolisasikan dengan benda atau kondisi alam seperti Surya, Candra, Kartika, Angkasa, Maruta, Samudra, Dahana, dan Bhumi.

1.      Surya (Matahari), memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan. Pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negaranya.

2.      Candra (Bulan), yang memancarkan sinar di tengah kegelapan malam. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberi semangat kepada rakyatnya di tengah suasana suka ataupun duka.

3.      Kartika (Bintang), memancarkan sinar kemilauan, berada di tempat tinggi hingga dapat dijadikan pedoman arah, sehingga seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan bagi orang lain untuk berbuat kebaikan.

4.      Angkasa (Langit), luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya. Prinsip seorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri dalam menampung pendapat rakyatnya yang bermacam-macam.

5.      Maruta (Angin), selalu ada di mana-mana tanpa membeda-bedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat tanpa membedakan derajat dan martabatnya.

6.      Samudera (Laut/air), betapapun luasnya, permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk menyegarkan. Pemimpin hendaknya bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya.

7.      Dahana (Api), mempunyai kemampuan yang bersentuhan dengannya, seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani, menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu.

8.      Bhumi (bumi/tanah), bersifat kuat dan murah hati selalu memberi hasil kepada yang merawatnya, pemimpin hendaknya bermurah hati (melayani) pada rakyatnya untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya.

Melalui teori kepemimpinan itu, masyarakat Jawa selalu berupaya keras untuk memberikan yang terbaiik di dalam hidupnya, karena masyarakat Jawa telah hidup di dalam konsep kepemimpinan di atas selama beratus-ratus tahun.[8]

Dalam masyarakat Jawa juga ada pandangan hidup yang berkaitan dengan ikatan relasi yaitu: ‘makan gag makan yang penting ngumpul’. Filsafat ini menunjukkan hubungan relasi yang tidak melihat dirinya sendiri tetapi ada hubungan satu sama lain. Menekankan kebersamaan. Ada juga filsafat yang menekankan kesetiaan seorang istri terhadap suaminya yaitu: suargo nunut neroko kitut ( ke surga ikut ke neraka juga ikut).

2.2      Filsafat Batak

2.2.1 Gambaran Umum Masyarakat Batak

Ada enam suku di dalam masyarakat Batak, yaitu suku Karo, Pakpak atau Dairi, Simalungun, Toba, Angkola, dan suku Mandailing, yang masing-masing mempunyai bahasa atau dialek. Suku Batak sudah mempunyai kebudayaan sendiri. Di antara benda-benda yang memiliki pengaruh dalam hidupnya adalah aksara Batak sendiri.[9] Pada zaman dahulu hanya para datulah yang mengenal surat Batak, ada dua macam surat yang dikenal orang dan keduanya dapat dibaca oleh datu itu. Jenis yang pertama ialah surat biasa yaitu ‘surat’ yang terdiri dari matani surat (huruf atau aksara) dan jenis yang kedua adalah ‘surat ni tangan’ (garis-garis telapak tangan manusia).[10]

2.2.2 Dalihan Na Tolu

a. Pengertian Dalihan Na Tolu

Dalihan na tolu (DNT) juga disebut dalihan nan tungku tiga (tungku nan tiga). [11] DNT adalah suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak yang juga mengikat pola kehidupan. Ada tiga unsur  hubungan kekeluargaan dalam DNT yang sama dengan tungku sederhana dan praktis yang terdiri dari 3 batu besar. Ketiga unsur hubungan kekeluargaan itu adalah:

1.      Dongan sabutuha (teman semarga)

2.      Hula-hula (keluarga dari pihak istri)

3.      Boru (keluarga dari pihak menantu laki-laki)

Dalihan memiliki istilah ‘si dua uli songon na mangkaol dalihan, masak sipanganon huhut malum na ngalian’ yang artinya ‘tungku ini memiliki dua kegunaan yang baik untuk memasak dan menghilangkan rasa dingin’. Sistem sosial dalihan natolu turun dari sistem kosmos yang di atasnya. Sistem kosmos ini merupakan totalitas tiga dunia: banua ginjang (dunia atas), banua tongah (dunia tengah) dan banua toru (dunia bawah). Sistem kosmos ini turun kepada system dan eksistensi manusia. Mereka memahami bahwa manusia adalah satu totalitas dari ketiga unsur: tondi (roh), hosa (nyawa) dan sibuk (tubuh). Sistem inilah yang menurunkan sistem dan struktur kemasyarakatan dalihan na tolu.[12]

b. Sejarah Dalihan Na Tolu

Istilah Dalihan na tolu lahir dan terbentuk dalam sejarah Batak Toba setelah adanya perkawinan antara sesama saudara dalam kalangan nenek moyang masyarakat Toba. Akibatnya dalam perkembangan selanjutnya, praktek dan sistem kemasyarakatan  ini ditetapkan oleh raja Batak sebagai sistem kemasyarakatan Batak Toba.[13] Dalihan na tolu  artinya tungku yang berkaki tiga, bukan berkaki empat atau lima. Tungku yang berkaki tiga sangatlah membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika salah satu dari kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Inilah yang dipakai leluhur suku Batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama bersaudara, dengan hula-hula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru dan pernah menjadi dongan tubu.[14] Dalihan natolu berhubungan juga dengan kepercayaan masyarakat Batak Toba, kepercayaan tritunggal dewa yaitu: Mula Jadi Nabolon (khalik pencipta), Silaon Na Bolon dan Pane Bolon atau Batara Guru. Ketiga dewa ini melukiskan alam kosmos. Sebagaimana manusia itu tidak terlepas dari alam.

Sejarah lahirnya dalihan na tolu dalam masyarakat Batak Toba selain akibat dari perkawinan sesama saudara kandung pada masa nenek moyang, ada juga kaitannya dengan kepercayaan masyarakat Batak Toba yaitu kepercayaan tritunggal dewa.

c.       Filsafat Dalihan na Tolu

Filosopi dalihan na tolu dikenal dengan istilah:

-          Sombah marhula-hula (bersifat hati-hati). Hula-hula adalah orang tua wanita yang dinikahi oleh seorang pria, namun hula-hula ini dapat diartikan secara luas. Semua saudara dari pihak istrinya. Hula-hula diibaratkan dewata yang nampak di mana ia bisa memberikan berkat melimpah dan restu bagi kehidupan kita. Itulah sebabnya mengapa hula-hula harus dihormati dan harus berbakti kepadanya. Melemparkan batu misalnya ke atas bukit, maka batu akan jatuh kembali kepada kita dan mungkin pula batu itu waktu jatuh membuat batu-batu lain turut berjatuhan ke kita. Serupa itulah yang berlipat ganda dari hula-hula jika kita memberi jasa kepada mereka.

Filsafat batak mengenai hula-hula berbunyi: sigatoon lailai do na marhula-hula. Artinya serupa dengan anak ayam yang waktu menentukan kelaminnya, kita memeriksa ekornya. Maka kita pun harus mempelajari hula-hula bagaimana sifat-sifat dan kemauannya dan hasilnya dapat dipakai nantinya sebagai pedoman dalam pergaulan kita dengan mereka. Filsafat kedua berbunyi : na mandanggur tu dolok do iba molo mangalehon tu hula-hula yang artinya memberi jasa kepada hula-hula sama dengan melempar ke atas bukit, hal itu akan kembali kepada kita.[15] Filsafat yang ketiga berbunyi Hula-hula I do debata na tarida  yang artinya hula-hula adalah dewata yang nampak. Maksud filsafat itu telah menjadi darah daging bagi orang Batak yang menyebabkannya selalu menghormati benar hula-hulanya.

-          Elek marboru (bersifat mengayomi/membujuk) boru adalah anak perempuan dari satu marga, misalnya boru Samosir adalah anak perempuan dari marga Samosir. Dalam istilah luas, istilah boru bukan berarti anak perempuan saja tetapi dari marga tersebut. Elek marboru artinya harus dapat merangkul boru. Hal ini melambangkan kedudukan seorang wanita dalam lingkungan marga tersebut. Selain itu, boru juga berkewajiban menghilangkan keretakan (sebagai pemersatu) dalam rumah hula-hulanya. Sama seperti balok bumbungan rumah yang mempersatukan kedua belah atap rumah. Sudah tentu boru dalam hal ini “naik derajat” menjadi “raja penghukum” dan memang ia diperlakukan oleh hula-hula yang bersangkutan demikian dan  akan mempersilahkan boru itu duduk “di juluan” (tempat duduk yang terhormat). Namun boru yang memegang adat teguh tidak mungkin menerima ajakan itu dan akan tetap mempertahankan tempat duduk di “talaga” (bagian tempat duduk untuk boru). Dan justru sikap seperti itulah yang membuat naik derajat boru di dalam pandangan hula-hulanya yang tentu mengingat filsafat “lam unduk do biur ni eme lam marisi” (padi itu makin berisi makin merunduk). Akibatnya makin bertambah respek (penghargaan dan penghormatan) hula-hula itu terhadap usul-usul penyelesaian sengketa yang diusulkan oleh boru itu.

Filsafat pertama : ”Bungkulan do boru” yang artinya boru itu adalah bubungan (bubungan rumah). Maksud dari filsafat ini adalah : kalau ada perselisihan di antara hula-hula yang membuat keretakan di antara mereka itu maka “boru-lah” yang berkewajiban menghilangkan keretakan agar mereka yang berselidih itu kembali kompak dan bersatu.

Filsafat kedua : “during do boru tombularan hula-hula” yang artinya boru itu adalah alat yang menangkap ikan dan hula-hula adalah tempat mengumpulkan dan menyimpankan ikan yang tertangkap. Maksudnya boru itu haruslah menganggap dirinya berkewajiban benar menolong hula-hulanya dalam segala hal. Terlebih dalam adat istiadat. Hula-hula itu dari pihaknya boleh berpendapat bahwa ia berhak menerima sumbangan dari borunya.[16]

-          Manat mardongan tubu (bersifat hormat). Dongan tubu adalah saudara-saudara semarga. Manat mardongan tubu atau dongan sabutuha melambangkan hubungan dengan saudara semarga. Kemanapun dan di manapun mereka, jika mereka adalah semarga maka itulah yang dianggap dongan tubunya. Tentang dongan tubu sabutuha berlaku semboyan : “sekali dongan sabutuha tetap dongan sabutuha” karena kita tidak bisa berpindah-pindah marga sekalipun kita bermusuhan dengan banyak teman semarga kita. Filsafat Batak tentang dongan sabutuha berbunyi : “tumpulon aek do na mardongan sabutuha” yang artinya ber- “dongan sabutuha “ sama dengan sifat air, biar berkali-kali dipotong tetap bertemu dan bersatu. Filsafat kedua berbunyi suhar bulu ditait, laos suhar do taitton yang artinya walaupun teman semarga kita menarik bambu dengan cara yang terang salah, namun kita harus menolong dan turut menarik bambu itu dengan cara yang salah itu. Maksudnya adalah bahwa yang ‘mardongan tubu’ itu harus menjungjung tinggi dan memelihara kesatuan dan solidaritas, sikap inilah yang ditekankan dari manat mardongan tubu.

d.      Pandangan batak mengenai kehidupan

Nilai-nilai budaya yang menjadi tujuan dan pandangan hidup ideal asli orang Batak dirumuskan di dalam rangkaian tiga kata yang secara eksistensial saling mendukung, yaitu prinsip di dalam kehidupan orang Batak adalah :

1.      Hamoraon (kekayaan)

2.      Hagabeon (panjang umur dan banyak keturunan)

3.      Hasangapon (kehormatan).

Metode pencapaian hidup ini diatur oleh struktur sosial “dalihan na tolu” sebagaimana dijelaskan di atas, yang keberadaannya berdasarkan sistem garis keturunan patrilinear (garis bapak) terwujud marga. Kemudian, aplikasi struktur itu dijabarkan di dalam sistem sosial berupa tatanan adat istiadat, kepercayaan dan idealisme.

Dalam falsafah hidup orang Batak, kekuasaan sangatlah penting. Hal ini tergambar dalam tujuan hidup hamoraon, hagabeon dan hasangapon. Yang sesungguhnya mengandung “esensi” kekuasaan. Kekayaan digunakan untuk memperoleh status yang bermuatan kekuasaan. Maka semakin besar kumulasi kekayaan niscaya semakin besar pula kekuasaan yang diperoleh. Itulah sebabnya perebutan status dapat terlihat, antara lain pada persaingan peningkatan-peningkatan pendidikan. Bagi orang batak, kekayaan (hamoraon ) tidaklah merupakan fasilitas yang membedakan keinginan untuk berpendidikan tinggi. Semua orang bersaing untuk memperoleh pendidikan status sosial formal. Karena selanjutnya pendidikan dan status niscaya memberikan prestise dan kehormatan (hasangapon) yang didambakan sebagai unsur kedua yang menjadi tujuan hidup mereka. Bahkan, tingkat pendidikan cenderung mempengaruhi sikap dalam menentukan pilihan tempat tinggal untuk menetap. Terdapat kecenderungan, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pula kecenderungan untuk meninggalkan kampung halaman. Demikian juga untuk mempertahankan status, baik formal maupun tradisional, orang Batak bersikap sangat aktif dan kritis. Baik mereka yang kaya maupun yang miskin sama-sama berupaya mempertahankan statusnya dengan gigih.

Demikian juga halnya dengan yang memberi banyak keturunan yang disebut “Parbalga tubu” (keluarga besar). Dalam hal ini ungkapan yang mencerminkan orang Batak yaitu: maranak sampulu pitu, marboru sampulu onom (Mempunyai anak laki-laki 17 dan perempuan 16 orang). Memang jumlah anggota keluarga besar merupakan idaman orang Batak hingga kini, meskipun seiring waktu ukuran besar itu semakin berubah.  Pada umumnya orang Batak masih berprinsip bahwa meskipun kaya, namun jika tidak mempunyai keturunan, orang tidak mempunyai kewenangan dalam acara atau upacara adat istiadat. Karena hanya orang yang kaya dan berketurunanlah yang dipandang mampu dan layak memberi restu kepada orang lain. Tapi kebalikannya, bila memiliki banyak keturunan dan miskin, akan dianggap tidak terhormat dan karena itu memiliki kekuasaan. Karena itu landasan kekuasaan adalah kekayaan dan keturunan, khususnya keturunan, orang Batak mengenal pepatah yang berbunyi “anakkhonki do hamoraon di ahu, anakhonki do hasangapon diahu, anakhonki do ummarga diau” senada dengan komponis terkenal dari Nahum Situmorang dalam salah satu lagunya “hu gogo pe mansari, arian nang bodari holan pasingkolaon gellengki”, terkait dengan kehormatan, kemajuan merupakan nilai-nilai yang mendorong orang Batak pada umumnya cenderung mencari atau mencapai “harajaon” ini adalah unsur politik orang batak.

III.             Refleksi

Kehidupan ini seperti lautan yang terus datar namun selalu dan tidak pernah berhenti bergelombang. Artinya walaupun kehidupan ini dapat berubah-ubah tiap situasi dan kondisi pada setiap zaman, namun prinsip dan pola pikir haruslah tetap, sehingga identitas itu jelas dan tidak abu-abu. Masyarakat Jawa dan Batak telah memberikan sedikit keterangan bagi kita tentang bagaimana sikap dan pola hidup serta pola pikir mereka atas dasar latar belakang mereka yang berbeda-beda. Perlu sebetulnya bagi kita untuk belajar terhadap kedua pandangan hidup ini, mengenai ethos kerja dan semangat memperjuangkan orang yang kita sayangi. Ethos kerja dan memperjuangkan orang yang kita sayang merupakan hal yang boleh kita tiru dan mengadaptasi pola pikir itu, ketika pola pikir kedua pandangan hidup ini dapat kita terapkan maka sebenarnya kita sekarang sedang berada dalam proses menuju keberhasilan dan proses menggapai cita-cita. Kedua pandangan hidup ini tidaklah sulit untuk diadapatasi, karena pola pikirnya hampir sama dengan pola pikir yang berada di Timur secara umum.

IV.             Kesimpulan

Dari pemaparan di atas maka kita dapat melihat bahwa filsafat Jawa itu mencakup tentang metafisika, Epitemologi, Axiologi, dan filsafat kepemimpinan. Dan filsafat batak itu mencakup tentang “dalihan na tolu” yang artinya tungku nan tiga, serta pandangan hidup Batak pun sangat menekankan status, hal ini dibuktikan dengan pandangan hidup “hamoraon, hagabeon, hasangapon”. Pandangan hidup kedua filsafat ini merupakan pandangan yang sampai saat ini tetap berkembang walaupun di sana-sini terdapat pergeseran-pergeseran.

V.                Daftar Pustaka

Bangun Ruben., berteologi dalam konteks budaya Karo, dalam Jurnal Teologi Tabernakel Edisi XXI Januari-Juni, 2008, Medan: STT Abdi Sabda, 2008

Chomcai Prachoom., Negara dan Bangsa, Jakarta: PT. Widyadara, 1989

Citroprawiro Abdullah., Filsafat Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1989

J.  D. Gultom., Dalihan Na tolu Nilai Budaya Suku Batak, Medan: CV. Armanda, 1992

Lumban Tobing Andar., makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK-GM, 1996

M T., Sihombing, Filsafat Batak Tentang Kebiasaan-kebiasaan Istiadat, Jakarta: Balai Pustaka, 2000

Siagian Bernad., Enkulturasi Iman-Etnografi Budaya Batak bagi Pendidikan Iman kristen, Pematang Siantar: L-Sapa, 2009

Sinaga  Salmon., Adat Ni Simalungun, tt: Presidium Partuhamaujana Simalungun, 2008

Soediman Partonadi Soetarman., Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya: Suatu Ekspedisi Kekristenan Jawa Pada Abad XIX, Jakarta: BPK-GM, 2001

Soekarno Setyodarmojo H., Menggali Filsafat dan Budaya Jawa, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007

Sujamto, Reorientasi dan revitalisasi Pandangan hidup Jawa: Semarang: Dahara Prize, 1997

Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, Semarang: Dahara Prize, 1992

Sumber Internet:

Tn, ‘falsafah Jawa’ dalam http://kyaimbelling.wordpress.com/falsafah-orang-jawa/, diakses pada tanggal 28 April 2012

Tn, ‘Dalihan Na Tolu’ dalam http:/catatan-pendek-.wordspress.com.dalihannatolu diakses 30 April 2012

 



[1] Prachoom Chomcai, Negara dan Bangsa, Jakarta: PT. Widyadara, 1989, hlm. 219

[2] Soetarman Soediman Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya: Suatu Ekspedisi Kekristenan Jawa Pada Abad XIX, Jakarta: BPK-GM, 2001, hlm, 13-14

[3] Abdullah Citroprawiro, Filsafat Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 14-15

[4] Sujamto, Reorientasi dan revitalisasi Pandangan hidup Jawa: Semarang: Dahara Prize, 1997, hlm. 48

[5]Abdullah Ciptoprawiro, Op. Cit . hlm.  23-25

[6] Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, Semarang: Dahara Prize, 1992, hlm. 28

[7] H. Soekarno Setyodarmojo, Menggali Filsafat dan Budaya Jawa, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007, hlm. 172

[8] Tn, ‘falsafah Jawa’ dalam http://kyaimbelling.wordpress.com/falsafah-orang-jawa/, diakses pada tanggal 28 April 2012

 

[9] Andar Lumban Tobing, makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK-GM, 1996, hlm. 1

[10] T. M. Sihombing, Filsafat Batak Tentang Kebiasaan-kebiasaan Istiadat, Jakarta: Balai Pustaka, 2000, hlm. 135

[11] Suku Karo juga memiliki sistem kekerabatan yang hampir serupa dengan Toba. Suku Karo mempraktekkan sistem ‘sangkep si telu’. Jadi ada sistem sosial Karo (kekerabatan) tersebut ada 3 tiang ‘hula-hula’ yaitu ‘kalimbubu’ sebagai pihak yang dihormati, kemudian sumbayak (senina) sebagai pihak semarga (sepengambilan, sipemeren, saudara sepupu) dan yang terakhir adalah ‘anak beru’ atau boru yaitu pihak si penerima gadis/istri. Dalam pesta kalangan suku Karo, ketiga pihak ini harus diharapkan datang karena merekalah yang harus berembuk menentukan besar kecilnya batang adat maupun bentuk adat pesta yang diadakan. (lih. Ruben Bangun, berteologi dalam konteks budaya Karo, dalam Jurnal Teologi Tabernakel Edisi XXI Januari-Juni, 2008, Medan: STT Abdi Sabda, 2008, hlm. 40)

Demikian juga dalam suku Simalungun, mereka juga mengenal filsafat ‘tolu sahundulan’ yang artinya tiga pada satu tempat yaitu: sanina, tondong, boru. Sanina adalah kerabat untuk mangambil keputusan; tondong adalah kerabat untuk meinta nasihat; boru adalah kerabat untuk meminta pertolonga tenaga. Namun dalam perkembangannya tolu sahundulan ini berkembang menjadi 5 yang disebut ‘lima saodoran’ yaitu: suhut, tondong, boru, tondong ni tondong, anak boru mintori (boru ni boru). (lih. Salmon Sinaga, Adat Ni Simalungun, tt: Presidium Partuhamaujana Simalungun, 2008, hlm. 1-2)

[12]  Bernad siagian, Enkulturasi Iman-Etnografi Budaya Batak bagi Pendidikan Iman kristen, Pematang Siantar: L-Sapa, 2009, hlm. 93

[13]D. J. Gultom, Dalihan Na tolu Nilai Budaya Suku Batak, Medan: CV. Armanda, 1992, hlm. 38

[14] Tn, ‘Dalihan Na Tolu’ dalam http:/catatan-pendek-.wordspress.com.dalihannatolu diakses 30 April 2012

 

[15] T. M. Sihombing, Op. Cit, hlm. 9

[16]  T . M Sihombing, Op-Cit, hlm. 77-78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar