Selasa, 22 Maret 2022

BAHASA ROH (Tinjauan Dogmatis Tentang Bahasa Roh Dalam Konteks Kisah Para Rasul dan Pemaknaannya Dalam Gereja Protestan)

 

Nama              : Grace Patricia Samosir

NIM                : 09.01.630

Ting/Jur         : V-B/Teologi

M. Kul            : Seminar Dogmatika

Dosen              : Pdt. Pardomuan Munthe, M. Th                                      Perbaikan

BAHASA ROH

(Tinjauan Dogmatis Tentang Bahasa Roh Dalam Konteks Kisah Para Rasul dan Pemaknaannya Dalam Gereja Protestan)

I.                   Latar Belakang Masalah

            Berbicara mengenai Bahasa Roh, maka arah pikiran dan tujuan seseorang langsung mengarah kepada Gereja yang beraliran Kharismatik/Pentakostalisme, karena inilah yang menjadi ciri khas dari gereja ini. Praktek berbahasa roh dalam gereja kharismatik dipahami sebagai manifestasi Roh Kudus. Sehingga ada penilaian dari kalangan pentakosta bahwa di luar mereka tidak memiliki Roh Kudus. Sering terjadi ketegangan dalam penghayatan keabsahan praktik bahasa Roh. Glossolalia atau yang sering diartikan sebagai bahasa lidah atau bahasa Roh adalah salah satu karunia Roh Kudus. Dalam cara memperoleh karunia Roh Kudus ini dan penggunaannya dalam jemaat dewasa ini kerap mendapat pertanyaan dan kritik yang tajam. Kepada siapa bahasa Roh diberikan, bagaimana cara mendapatkannya, apa fungsi dan bagaimana pemaknaanya dalam gereja Protestan. Oleh sebab itu akan dibahas bahasa Roh secara khusus bahasa Roh dalam konteks Kisah Para Rasul.     

II.                Pembahasan

2.1  Pengertian Bahasa Roh

Bahasa Roh adalah terjemahan dari kata Yunani γλόσσόλαλίά (glossolalia). Istilah ini terdiri dari dua kata yaitu, γλόσσά (glossa) yang artinya ‘lidah’, dan λαλεω (laleo) yang artinya ‘berbicara’ sebagai suatu pemberian yang maha mulia dari Tuhan Allah. [1] Kata glossa ditemukan dalam Kisah Para Rasul 10:46; 19:6 dan 1 Korintus 12-14. Dalam terjemahan baru istilah glossa diterjemahkan ‘bahasa roh’.  

Bahasa Roh harus dibedakan dengan pelajaran bahasa asing. Bahasa Roh adalah karunia dan bukan suatu yang dipelajari. Bahasa Roh adalah ‘nubuatan’ yang diberikan Tuhan Yesus kepada murid-muridNya. Nubuatan ini terjadi setelah pencurahan Roh Kudus kepada mereka, maka salah satu mujizat yang terjadi adalah mereka berbicara dengan bahasa Roh. (bnd. Mrk. 16:17).  Karunia bahasa Roh disebut ‘berkata-kata dalam bahasa lain’ (Kis. 2:4). Hal berkata-kata dalam bahasa Roh hanya terdapat dalam dua tempat lain (Kis. 10:46 dan Kis. 19:6). [2]

Ketika karunia bahasa Roh diberikan, harus dipahami bahwa hal itu terjadi bukan karena kesalehan, bukan karena kebaikan atau jasa kita, akan tetapi semua itu terjadi semata-mata  karena kebaikan Tuhan.[3]  Oleh karena itu karunia Roh Kudus tidak boleh digunakan seturut kehendak.

2.2  Bahasa Roh dalam Konteks Kisah Para Rasul

            Dalam Kisah Para Rasul ada disebutkan  3 kali tentang bahasa Roh. Pertama, pada  Kisah Para Rasul 2, kepada murid-murid atau orang-orang Yahudi. Kedua dalam Kisah Para Rasul 10, kepada keluarga Kornelius/Non-Yahudi dan yang ketiga, kepada orang-orang Yahudi  di luar negeri, di Efesus. Perjalanannya dimulai dari Galilea, Yudea (Yope, keluarga Kornelius) sampai ke ujung bumi (perjalanan para murid-murid). Bahasa Roh itu adalah tanda bahwa Roh Kudus adalah saksi Kristus, tanda bahwa Kristus disaksikan dan tanda orang yang bersaksi itu adalah tanda orang yang dipersaksikan. Berikut akan dibahas lebih lanjut.

-          Kisah Para Rasul 2:1-13

Kisah para Rasul  sedikit membahas refleksi tentang peranan Roh tetapi banyak bercerita tentang pekerjaan Roh.  Kisah Para Rasul 2:1-13,  mengisahkan suatu peristiwa yang terjadi tepat pada hari pentakosta. Pentakosta adalah lima puluh hari sesudah Paskah yaitu pesta syukur kepada Tuhan atas hasil panen dan atas pemberian hukum kepada Musa di Gunung Sinai. Di mana secara tiba-tiba turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh rumah tempat orang-orang percaya duduk. Nampaklah oleh mereka lidah-lidah api seperti nyala api bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing kemudian mereka mulai ‘berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain’. (Kis 2:4). Efek dari kejadian ajaib adalah salah satu yang internal bahwa murid-murid semua dipenuhi dengan Roh Kudus. Tidak ada yang dikecualikan, mereka semua menerima karunia yang sama. Karunia ini terwujud eksternal dalam bahwa semua mulai berbicara dalam bahasa-bahasa lain. Perhatikan permainan kata: lidah terkait dengan bahasa-bahasa lain. Kemudian bahasa lain diidentifikasi sebagai bahasa asing. Ini pencurahan pertama Roh Kudus atas gereja tidak hanya unik karena motif Teofani yang menyertainya tetapi juga karena keajaiban bahasa yang  terwujud itu.[4]

Di Yerusalem terdapatlah orang-orang Yahudi dari berbagai penjuru dunia yang berziarah ke kota untuk merayakan pesta. Mereka yang berasal dari jauh agaknya berbicara dalam bahasa Aram dan Hibrani. Yang pertama diperlukan sebagai alat pembantu dalam percakapan mereka selama di Palestina dan yang kedua berguna untuk ibadat dalam sinagoge. Mereka berkumpul untuk menyelidiki asal mula bunyi yang hebat itu dan menjadi bingung ketika mendengar bahasa mereka sendiri dipakai oleh kelompok orang-orang Galilea. Daerah-daerah yang didaftarkan di sini oleh Kisah Para rasul umumnya berurutan dari Timur ke Barat, dengan ‘orang Kreta dan orang Arab’ sebagai tambahan pada daftar tersebut. Partia, Midia, Elam adalah negeri-negeri yang disebelah Timur Mesopotamia dan di sebelah Utara teluk Persia, Yudea merupakan wilayah Selatan Palestina, Kapadosia, Pontus, Frigia dan Pamfilia adalah daerah-daerah yang terdapat di Asia Kecil (Turki), Libia termasuk bagian Utara Afrika dan Kreta adalah Pulau di bagian Selatan Yunani. Semua orang yang hadir adalah orang-orang Yahudi atau Proselit (mereka yang masuk agama Yahudi).[5] Banyak di antara orang Yahudi dan bangsa-bangsa lain terheran-heran mendengar murid-murid itu memuji Allah dalam bahasa dan dialek mereka (Kis. 2:7).  Yang mencengangkan orang banyak bukanlah kejadian yang tiba-tiba tentang orang-orang yang berkata-kata dalam bahasa yang tak dapat dimengerti, melainkan bahwa mereka mendengar orang-orang Galilea yang sederhana itu berkata-kata dalam bahasa mereka sendiri.[6] Mereka berkata-kata dalam bahasa-bahasa yang baru, hingga para pendengarnya dapat mengerti karena mereka berbicara dalam bahasa daerah mereka masing-masing tentang ‘perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah’ (2:5-13).[7] Dalam Kisah Para Rasul selanjutnya tidak ada petunjuk  bahwa karunia itu diulangi sebagai pertolongan linguistic bagi upaya-upaya jemaat dalam penginjilan.

Gerhard A. Krodel menuliskan Pada hari Pentakosta para murid berbicara dalam bahasa sehari-hari  masyarakat yang beragam. Juga tidak hanya dua atau tiga bahasa yang terlibat, melainkan selusin atau lebih dari  daftar negara yang  ada.  Fakta bahwa kita tidak bisa membayangkan seperti keajaiban bahasa mungkin tidak menjadi kunci hermeneutis yang  berusaha untuk kita pahami ini. Keajaiban seperti konsepsi atau keajaiban Pentakosta berada di luar pemahaman kita, dari sudut pandang Lukas.[8]

Beberapa lagu himne ortodoks mengenai Hari Raya Pentakosta, yang memperingati peristiwa di Kisah Para Rasul ini menggambarkan hal ini sebagai pembalikan dari kejadian Menara Babel (Kejadian 11). Dengan kata lain, bahasa umat manusia yang dikacaubalaukan  dalam peristiwa Menara Babel direunifikasikan dalam peristiwa Pentakosta, yang menghasilkan penyebaran Injil bagi orang-orang yang sedang berada di Yerusalem dari berbagai negara.[9] Berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru (glossais kai nais) juga disebut dalam kitab Markus 16:17 sebagai tanda yang akan menyertai iman kepada Tuhan Yesus Kristus. Tanda itu menyertai pencurahan Roh Kudus kepada orang-orang non-Yahudi pertama yang bertobat dan merupakan salah satu penjelmaan yang kelihatan di tengah-tengah orang-orang percaya pertama di Samaria (Kis. 8:17-19).

Beberapa ahli mengemukan pendapat bahwa pengalaman pada hari Pentakosta bukanlah berbicara dalam bahasa lidah melainkan berbicara dalam bahasa-bahasa asing. Tetapi kalau begitu, sulit dimengerti mengapa beberapa orang menyimpulkan para murid lagi mabuk (Kis, 2:13), sedangkan yang lain mendengar Allah berbicara kepada mereka dengan jelas dalam bahasa mereka dapat mengerti. Pasti penjelasan mengenai hal itu terdapat dalam kenyataan bahwa apa yang dilaporkan Lukas, telah ia dengar dari orang-orang lain yang ada di situ dan yang hidupnya sudah berubah sebagai akibat dari apa yang mereka dengar, dan bagi mereka, apapun bahasa yang diucapkan oleh para rasul, tidak ada keragu-raguan mereka berbicara dalam bahasa yang dapat dimengerti dengan mudah.[10] 

-          Kisah Para Rasul 10: 44-48

Pada pasal ini diberitakan permulaan pemberitaan kepada orang-orang bukan Yahudi melalui percakapan dengan Kornelius sang Perwira. Pertobatan Kornelius merupakan suatu terobosan baru untuk membawa bangsa-bangsa asing ke dalam gereja. Pada saat Petrus  berkhotbah sederhana tentang kebenaran kehidupan Kristus dan tentang semua yang percaya kepadaNya akan mendapat pengampunan dosa karena namaNya. Ketika Petrus sedang menjelaskan semua hal ini turunlah Roh Kudus atas semua orang yang mendengarkan pemberitaannya. Peristiwa ini merupakan Pentakosta  bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi. Petrus menjadi pemimpin dari kedua peristiwa pentakosta itu. Orang-orang Yahudi yang mengikuti Petrus tercengang melihat bahwa Karunia Roh Kudus dicurahkan ke atas bangsa-bangsa lain juga. Turunnya Roh Kudus dengan anugrah berkata-kata dalam bahasa Roh, menyebabkan golongan bersunat, termasuk Petrus mengatasi sisa-sisa terkahir dari rasa purbasangka dan menerima keselamatan dalam pengertian yang benar. Petrus menganjurkan agar orang-orang tidak bersunat itu dibaptis, setelah mereka menerima Roh Kudus, mereka sangat gembira dan meminta Petrus supaya tinggal beberapa hari lagi bersama-sama dengan mereka.

Berita mengenai kejadian istimewa ini, pembaptisan terhadap bangsa-bangsa yang tidak bersunat dengan segera sampai ke Yerusalem. Terutama ‘mereka dari golongan bersunat’ menjadi susah. Petus mewartakan Injil kepada orang-orang itu dan membaptis mereka. Roh Kudus turun ke atas mereka dengan anugrah-anugrahNya. petrus menjelaskan tentang penglihatan yang diterimanya kepada orang-orang Yahudi sehingga mereka mengakui bahwa bangsa bukan Yahudi juga mengambil bagian di dalam keselamatan. [11]

-          Kisah Para Rasul 19:6

Pasal ini menuliskan perjalanan misi Paulus yang ketiga yaitu di Efesus. Paulus bertemu dengan kira-kira 12 orang murid yang belum menerima Roh Kudus bahkan sesungguhnya mereka belum tahu bahwa Roh Kudus sudah mulai berkarya. Sama seperti Apolos mereka telah dibaptis denagn baptisan Yohanes, tidak lebih dari itu. Paulus menjelaskan kepada mereka bahwa Yesus adalah sesungguhnya Dia yang oleh Yohanes ditunjuk sebagai orang yang datang sesudah dia. Mereka percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan dibaptis. Ketika Paulus menumpangkan tangan di atas mereka, turunlah Roh Kudus ke atas mereka menerima anugrah berkata-kata dalam bahasa roh dan bernubut. Selama tiga bulan Paulus melanjutkan pewartaannya di tengah-tengah orang Yahudi yang berada di luar kota yakni di Efesus dan kemudian Paulus meninggalkannya. [12]

2.3  Bahasa Roh dalam Surat Korintus (Sebuah Bandingan)

Berbicara dalam bahasa lidah disebut sebagai salah satu karunia Roh (1 Kor. 12:10; 14:5-25). Tetapi pada umumnya disepakati bahwa berbahasa lidah seperti itu bukanlah berbicara dalam bahasa-bahasa asing yang tidak diketahui oleh pembicaranya tetapi lebih merupakan semacam ucapan ekstatik yang sangat berbeda dari bentuk dan isi dari bahasa sebenarnya. Paulus mempertentangkan ucapan bahasa biasa dengan apa yang disebutnya ucapan ‘bahasa malaikat’ (1 Kor. 13:1) yang memberi kesan ia sadar akan perbedaan tersebut.

Paulus dalam suratnya kepada jemaat Korintus menegaskan bahwa bahasa Roh itu adalah:[13]

  1. Bahasa Roh berarti berkata-kata kepada Allah; bukan kepada manusia; oleh Roh mengucapkan hal-hal yang rahasia, dan tidak ada seorang pun yang mengerti bahasanya (I Korintus 14:2)
  2. Orang yang berkata-kata dalam bahasa roh membangun (memperbaiki) dirinya sendiri (I Korintus 14:4)
  3. Bahasa Roh merupakan doa yang dilakukan oleh roh (I Korintus 14:4)
  4. Bahasa Roh merupakan bahasa pengucapan syukur yang sangat baik (I Korintus 14:16-17).

Sekalipun demikian, Paulus meminta agar jemaat berlaku bijak dalam berbahasa roh, karena bila dalam ibadah setiap orang berkata-kata dalam bahasa roh, maka orang-orang yang tidak percaya bisa mengatakan mereka “gila” (I Kor 14:23). Inilah persoalan utama yang harus dipikirkan. Mengapa sebenarnya Roh Kudus memberikan karunia berkata-kata dengan bahasa roh pada mulanya? Karunia berkata-kata dengan bahasa roh sebenarnya adalah tanda bagi orang-orang yang tidak beriman. Akan tetapi, karunia ini mempunyai tujuan lain yang berkaitan dengan tubuh Kristus. Paulus mengacu pada karunia berbahasa roh beberapa kali dalam lima ayat pertama dari I Korintus 14, dengan tujuan pembangunan atau pembinaan. Dapat dilihat bahwa dalam ayat 5 Paulus menyebutkan bahwa bahasa roh tidak seharusnya terjadi di gereja jika tidak ada seseorangpun yang menafsirkannya, sehingga jemaat dapat dibangun. Kemudian dalam ayat 26 Paulus memperkuat nasihat itu ketika dia menyatakan “semuanya itu harus digunakan untuk membangun.” Kata membangun berarti mendirikan atau dapat dikatakan bahwa apa saja yang tidak mendirikan atau membina gereja itu tidak sah. Karunia berkata-kata dengan bahasa roh diberikan oleh Roh Kudus untuk membangun perhimpunan para orang Percaya. Inilah letak kepentingan daripada berkata-kata dalam bahasa roh.[14]

Dengan demikian dapat dipahami bahwa karunia berbahasa roh dan penafsiran bahasa roh itu harus berjalan sejalan. Karena apa gunanya suatu perkataan yang tidak jelas artinya diucapkan? Tentulah hal ini tidak berguna, kecuali ada orang yang dapat menafsirkannya atau ia sendiri juga dapat menafsirkannya. Untuk itulah Allah memberi karunia yang disebut ‘penafsiran bahasa-lidah’ (I Kor 12:10). Karunia penafsiran bahasa roh itu merupakan ucapan ilahi melalui Roh yang memberikan arti terhadap suatu ucapan dalam bahasa lain. Ia bukan merupakan terjemahan bahasa roh, melainkan ia merupakan tafsiran dari bahasa roh, yang juga merupakan suatu ilham tersendiri, dan tidak merupakan pengertian intelektual akan bahasa-lidah, sebagaimana Roh mendorong seseorang berdoa dalam bahasa lidah maka Roh yang sama akan mendorong seseorang memberi pengertian bahasa lidah tersebut.[15]

  Karunia tentang penafsiran bahasa roh ini merupakan karunia yang paling rendah tingkatannya dari deretan karunia-karunia yang lainnya, sebab ia tidak dapat bekerja tanpa adanya kegiatan bahasa roh. Tujuan daripada karunia ini ialah untuk memberikan kepada karunia bahasa roh itu pengertian yang dapat dipahami bagi para pendengarnya agar supaya sidang jemaat maupun pemilik dari karunia itu dapat mengetahui apa yang telah dikatakan oleh dirinya, sehingga dengan demikian iman mereka dapat dibangunkan.[16] Oleh karena itu karunia-karunia Roh harus diusahakan untuk dipergunakan membangun jemaat. Jadi siapa yang berkata-kata dalam bahasa roh, haruslah berdoa agar diberikan juga karunia untuk menafsirkannya.[17]

2.4  Pandangan  Bapa-Bapa Gereja Terhadap Bahasa Roh

Praktik berbahasa roh atau berbahasa-lidah sudah disinggung pada zaman Bapa-bapa gereja. Contoh:

-          Irenaeus ( 130–202 M )

Karunia ini diklaim oleh orang-orang Kristen mula-mula karena Irenaeus yang adalah murid dari Polikarpus (murid dari rasul Yohanes).  Dia mengatakan dengan jelas, ‘Kami mendengar banyak orang di gereja berbicara dengan berbagai bahasa Roh yang membawa  cahaya untuk kepentingan umum hal-hal yang tersembunyi dan menyatakan misteri Allah. Sewaktu mengatakan bahwa banyak orang pada masanya yang mempunyai karunia ini, ia sendiri tidak mempunyai karunia ini.

-          Justin Martyr (150 M)

Martyr menyinggung mengenai bahasa lidah dalam sebuah dialog dengan Trypho (bab. 82). Bahasa Roh adalah  hadiah (karunia) untuk kenabian dan  tetap bersama kami, bahkan sampai waktu sekarang ini’.

-          Tertulianus (200 M)

Tertullian adalah seorang pemimpin Kristen awal, dan apologis. Dalam penulisan melawan Marcion sesat, Tertulianus menulis: "Biarkan Marcion kemudian menunjukkannya sebagai hadiah dari Tuhan beberapa nabi seperti belum diucapkan oleh akal manusia, tetapi dengan Roh Allah, seperti telah diprediksi kedua hal yang akan datang, dan telah dinyatakan rahasia hati, biarkan dia menghasilkan mazmur, visi, doa biarlah oleh Roh dalam ekstasi, yaitu, dalam suatu pengangkatan. Tertulianus juga menyinggung tentang “interpretasi bahasa roh sebagai tanda”

-          Yohanes Krisostomus (347 – 407 M)

Dalam Homilies pada 1 Korintus 14 dia mengatakan roh terdengar dalam dirinya dan hadiah itu disebut karunia lidah karena ia bisa sekaligus berbicara berbagai bahasa.[18]

-           Agustinus dari Hippo (400 M)

Augustinus, Uskup Hippo, salah satu dari empat ayah besar Gereja Latin dan dianggap yang terbesar dari mereka semua: "Kami masih melakukan apa yang para rasul lakukan ketika mereka menumpangkan tangan di atas orang-orang Samaria dan disebut Roh Kudus pada mereka dalam meletakkan tangan diharapkan bertobat harus berbicara dengan bahasa yang baru.

-          Lutheran

Luther mengatakan bahwa karunia bahasa Roh telah pernah diberikan kepada orang Yahudi. Namun demikian karunia itu telah berhenti. Orang-orang Kristiani tidak lagi membutuhkan mukjizat-mukjizat. Luther bahkan menggunakan teks I Kor 12-14 untuk membuktikan bahwa yang penting itu cinta kasih. Bahasa roh memang dibutuhkan ketika gereja masih berkembang. Namun, kini tidak dibutuhkan lagi.  [19]

-          Yohanes Calvin

Calvin mengajarkan bahwa bahasa roh itu diperlukan untuk karya penginjilan pada awal gereja, tetapi kini sudah tidak muncul lagi. Jadi, secara singkat bisa dikatakan bahwa gereja-gereja Protestan arus utama bersikap sangat hati-hati, bahkan secara teguh menentang segala manifestasi kerohanian yang memperlihatkan tanda-tanda pengaruh dari gerakan entusiasme.

-          John Wesley

John Wesley berpandangan bahwa  aturan dalam hal ini adalah ‘semuanya yang dikerjakan oleh Roh Kudus yang satu dan yang sama, yang memberikan karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus seperti yang dikehendakiNya. Jadi karunia ini diberikan kepada setiap orang, setiap gereja dan setiap tubuh kolektif orang-orang percaya. Roh Kudus memberikan dan mengaruniakan karunia-karunia tersebut sebagaimana dikehendakiNya. Dengan demikian tidak ada cara khusus untuk menentukan keinginan-keinginan semua gereja. Allah yang bekerja menurut kehendakNya bisa memberikan karunia bahasa Roh dimana Dia tidak memberikan karunia yang lain. Barangkali kita tidak bisa selalu mengenal pikiran Tuhan. Dari hal ini dapat ditentukan apakah hal ini masih dikerjakan dalam gereja setelah masa rasul-rasul. [20]

2.5  Pemaknaan Bahasa Roh Dalam Konteks Kisah Para Rasul diperhadapkan pada  Gereja Protestan

Bahasa Roh itu adalah tanda bahwa Roh Kudus adalah saksi Kristus, tanda bahwa Kristus disaksikan dan tanda orang yang bersaksi itu adalah tanda orang yang dipersaksikan. Dalam Kisah Para Rasul, bahasa Roh muncul 3 kali yaitu kepada murid-murid atau orang-orang Yahudi (Kis. 2), kepada keluarga Kornelius/Non-Yahudi (Kis. 10) dan kepada orang-orang Yahudi  di luar negeri, di Efesus. Hal ini berarti bahasa Roh itu diberikan tanpa memandang bulu. Semua mendapat kesempatan untuk menjadi saksi dan bersaksi.

Jika beberapa orang Kristen modern mengklaim bahwa glossolalia mereka adalah pengulangan pengalaman Pentakosta, mereka mengabaikan fenomena Theophani dan keajaiban bahasa asing dari cerita Lukas. Dan harus mereka mengklaim bahwa glossolalia mereka sebenarnya berbicara dalam bahasa asing seperti bahasa asli dari Partia, Media atau Elam, mereka masih tidak akan mengulangi keajaiban Pentakosta, karena ketika mereka melakukan glossolalia mereka ada orang Yahudi berbicara Parthia kuno yang hadir. Jadi bahkan jika klaim mereka itu benar itu akan berjumlah total membuang kuasa Allah. Dalam hal ini Iman Kristen menolak dengan keras ajaran dan praktek bahasa roh yang bertentangan dengan Firman Tuhan sebagaimana yang diamanahkan dalam Kisah Para Rasul 2, Markus 16:17 dan I Korintus 12-14. Iman Kristen menolak dengan tegas setiap praktek bahasa roh yang bukan berpedoman kepada pengajaran Allah.[21]

Iman Kristen juga tidak boleh menutup diri terhadap adanya ‘bahasa roh’,  karena bahasa roh adalah salah satu dari berbagai jenis karunia-karunia Roh yang diberikan kepada manusia di mana bahasa roh itu harus dimengerti dan dipahami oleh semua orang yang mendengarnya. Akan tetapi, bila sampai pada urusan gereja, sasarannya adalah untuk membina tubuh Kristus-bukan semata-mata membina diri sendiri.   Gereja-gereja Protestan sering dianggap kurang ketat dalam mempertahankan kesucian gereja. Dan dikatakan juga bahwa Roh Kudus tidak hadir dalam gereja Protestan sehingga karunia-karunia Roh tidak terdapat di sana. [22] Jika demikian apakah memang jemaat Kristen Protestan berjalan tidak sesuai dengan Alkitab?? Walaupun dalam kitab Kisah Para Rasul 2, Markus 16:17 dan 1 Korintus praktek bahasa Roh itu adalah selalu dalam konteks ‘bahasa yang lain’, namun iman Kristen mengajarkan kepada kita bahwa bahasa Roh itu tidak selalu diartikan dalam konteks ‘bahasa asing’. Jauh lebih baik apabila istilah ‘bahasa lain’ itu diterjemahkan dengan bahasa yang rohani, bahasa yang sopan, lemah-lembut, ucapan dan tutur kata yang keluar dengan budi bahasa yang baik atau secara singkat dapat disebut bahasa Kasih.

Tidak ada seorangpun yang bisa mengklaim bahwa bahasa Roh itu diberikan hanya pada golongan tertentu. Bahasa Roh adalah tanda bahwa Roh Kudus adalah saksi Kristus, tanda bahwa Kristus disaksikan dan tanda orang yang bersaksi itu adalah tanda orang yang dipersaksikan. Semua orang dimana pun bisa mendapat bahasa Roh. Yang pertama diutus murid-murid-Nya kemudian keluarga Kornelius dan orang-orang Yahudi di luar Galilea. Tidak ada dua kali di Alkitab bahasa Roh, karena sekali mereka diutus seumur hidup, semua sudah menerima Roh Kudus melalui mereka, sudah terjadi mulai dari Galilea sampai ke ujung bumi.

III.             Kesimpulan

Dari pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Bahasa Roh adalah terjemahan dari kata Yunani γλόσσόλαλίά (glossolalia). Istilah ini terdiri dari dua kata yaitu, γλόσσά (glossa) yang artinya ‘lidah’, dan λαλεω (laleo) yang artinya ‘berbicara’ sebagai suatu pemberian yang maha mulia dari Tuhan Allah. Bahasa Roh dalam konteks Kisah Para Rasul disebutkan  3 kali tentang bahasa Roh. Pertama, pada  Kisah Para Rasul 2, kepada murid-murid atau orang-orang Yahudi. Kedua dalam Kisah Para Rasul 10, kepada keluarga Kornelius/Non-Yahudi dan yang ketiga, kepada orang-orang Yahudi  di luar negeri yakni Efesus. Perjalanannya dimulai dari Galilea, Yudea (Yope, keluarga Kornelius) sampai ke ujung bumi (perjalanan para murid-murid). Karunia yang diberikan oleh Roh Kudus bagi orang percaya tujuannya adalah untuk memperlengkapi dan membekali orang-orang percaya meneruskan misi Allah di dunia mengabarkan berita keselamatan sehingga karunia itu harus bermuara menjadi kemuliaan dan kebesaran nama Tuhan

IV.             Daftar Pustaka

Bambang mulyono, Firman Hidup, Jakarta: BPK GM, 2002

Bayer,  γλόσσά, dalam The Interpreter’s Dictionary of The Bible, keith Crim dan Victor Paul Furnish, Nashville: Parthenon Press, 1976

Brink H. Van den, Tafsiran Kisah Para Rasul, Jakarta: BPK GM

Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, Pematangsiantar : L-SAPA, 2007

David L. Baker, Roh dan Kerohanian dalam Jemaat, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996

 De Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja?, Jakarta: BPK GM, 2002

Deshi Ramadhani, Mungkinkah Karismatik Sungguh Katolik?, Yogyakarta: Kanisius,  2004

Donal Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2, Jakarta: BPK GM, 2006

Gerhard A. Krodel, Augsburg Commentary On The New Testament  Act, Philadelphia: Fortress Press, 1981

Heselar, Tafsir Kisah Para Rasul, Yogyakarta: Kanisius, 1981

J. D. Douglas (Peny), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid 1, Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1982

J.L.Ch. Abineno, Karunia-karunia Roh Kudus, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1980

Jack Dare, Surprised By The Power of The Holy Spirit, Yogyakarta: Andi, 1993

Jan S. Aritonang, Berbagai aliran Di Dalam dan Di Sekitar Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995

John Drane, Memahami Perjanjian Baru, Jakarta:BPK GM, 2006

Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Perjanjian Baru: Kisah Para Rasul, Yogyakarta: Kanisius, 1981

Merril C. Tenney, Survey Perjanjian Baru, Jakarta: BPK GM, 2003

Paul Enns, The Moody Hand Book of Theology, Malang, Literatur Saat, 2004

Rudolf H. Pasaribu, Penjelasan Lengkap Iman Kristen, Jakarta : Atalya Rileni Sudeco, 2001

Tony Evans, Janji Allah, Jakarta : Yayasan Pekabaran Injil “Immanuel”, 1999

Wesley John, The Holy Spirit and Power, Yogyakarta: Andi, 2003

Wimanjaya K. Liotohe (Alih Bahasa), Mengenal Karunia-karunia Roh Kudus, Jakarta : Yayasan Pekabaran Injil “Immanuel”, 1985

Sumber Internet:

http://www.metareligion.com/Linguistics/Glossolalia/contemporary diakses pada hari: Selasa, 22 Oktober 2013

 

 

 

 



[1] Bayer,  γλόσσά, dalam The Interpreter’s Dictionary of The Bible, keith Crim dan Victor Paul Furnish, Nashville: Parthenon Press, 1976, hlm. 908

[2]Donal Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2, Jakarta: BPK GM, 2006, hlm.  171

[3] Jack Dare, Surprised By The Power of The Holy Spirit, Yogyakarta: Andi, 1993, hlm. 266

[4] Gerhard A. Krodel, Augsburg Commentary On The New Testament  Act, Philadelphia: Fortress Press, 1981, hlm. 76

[5] Heselar, Tafsir Kisah Para Rasul, Yogyakarta: Kanisius, 1981, hlm. 37

[6]  Donal Guthrie, Op. Cit, hlm. 171

[7] Merril C. Tenney, Survey Perjanjian Baru, Jakarta: BPK GM, 2003, hlm. 294

[8] Gerhard A. Krodel, Op. Cit, hlm. 76-77

[9] J. D. Douglas (Peny), Op. Cit, hlm. 132-133

[10] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, Jakarta:BPK GM, 2006, hlm. 271

[11] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Perjanjian Baru: Kisah Para Rasul, Yogyakarta: Kanisius, 1981, hlm. 81-82

[12] Ibid., hlm. 122

[13] David L. Baker, Roh dan Kerohanian dalam Jemaat, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996, hlm.  28-30

[14] Tony Evans, Janji Allah, Jakarta : Yayasan Pekabaran Injil “Immanuel”, 1999, hlm.  364-365

[15] David L. Baker, Op-Cit, hlm. 31-32.

[16] Wimanjaya K. Liotohe (Alih Bahasa), Mengenal Karunia-karunia Roh Kudus, Jakarta : Yayasan Pekabaran Injil “Immanuel”, 1985, hlm. 118.

[17] Paul Enns, The Moody Hand Book of Theology, Malang, Literatur Saat, 2004, hlm. 332-333.

[18] http://www.metareligion.com/Linguistics/Glossolalia/contemporary diakses pada hari: Selasa, 22 Oktober 2013

[19] Deshi Ramadhani, Mungkinkah Karismatik Sungguh Katolik?, Yogyakarta: Kanisius,  2004, hlm. 77

[20]John Wesley, The Holy Spirit and Power, Yogyakarta: Andi, 2003, hlm. 121

[21]Rudolf H. Pasaribu, Op. Cit, hlm. 215-216

[22]  De Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja?, Jakarta: BPK GM, 2002, hlm. 46

Tidak ada komentar:

Posting Komentar