Korupsi
(Solusi pemberantasan Korupsi di Indonesia)
I.
Pendahuluan
Peringkat Korupsi Beberapa Negara Asia
Sumber
: PERC, Corruption in Asia, 2006
Keterangan: Grafik di atas menggambarkan peringkat korupsi Indonesia
dibandingkan dengan sejumlah negara lainnya yang disurvei pada tahun 2006.
Rentang skor dari 0 sampai 10, dimana skor 0 mewakili posisi yang terbaik,
sedangkan skor 10 merupakan posisi yang terburuk. Pada tahun 2006, Indonesia
memiliki skor 8,16 yang berarti skor tertinggi yang mendekati angka sempurna
sebagai negara paling korup di Asia.
Setiap tahun, PERC melakukan survei di sejumlah negara
Asia untuk mendapatkan gambaran mengenai kecenderungan praktek korupsi yang
terjadi di negara-negara tersebut. Dalam hal ini, PERC bertanya kepada
responden mengenai kondisi dimana mereka bekerja, sekaligus juga menilai
kondisi negara asalnya masing-masing. Metode ini digunakan agar dapat menghasilkan
data perbandingan antar negara (cross country comparison) sehingga
survei ini dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi bagaimana persepsi tentang
korupsi terhadap sebuah negara yang berubah seiring waktu.
Berdasarkan survei PERC di atas, maka dunia internasional
memiliki persepsi yang sangat buruk terhadap Indonesia sebagai negara yang
paling korup. Citra negatif yang sangat melekat ini tentu saja telah membuat
malu pada individu sebagai
warga negara dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Indonesia telah menjadi
negara terkorup pada tingkat regional maupun internasional.
Data PERC menyebutkan bahwa selama 10 tahun lebih, sejak
1997-2006, dan hingga 2011 ini, tingkat korupsi di Indonesia tidak mengalami
perbaikan secara signifikan. Indonesia selalu berada pada peringkat teratas
dalam praktek korupsi, sehingga selalu berada di atas rata-rata korupsi
negara-negara lain. Berikut ini grafik yang menunjukkan perkembangan tingkat
korupsi di Indonesia yang tidak mengalami perbaikan secara signifikan.[1]
Dari hasil
grafik dan informasi di atas, kita dapat
melihat praktek korupsi telah menjadi momok bagi negara-negara di dunia secara
khusus di Asia. Adalah penting bagi kita untuk mengetahui apa sebenarnya,
factor-faktor yang mempengaruhi korupsi, bagaimana dampak yang dihasilkan dan
apa solusi yang bisa dilakukan untuk memberantas atau meminimalisir kasus
korupsi di Indonesia. Sehingga kita dapat menjadi agen-agen antikorupsi yang
mampu memperbaiki citra Indonesia. Semoga seminar ini bermanfaat bagi kita.
II.
Pembahasan
2.1 Pengertian Korupsi
Secara etimologi, korupsi berasal dari bahasa
Latin, “coruptio atau corrumpere”,
dan bahasa Inggris, ‘corruption’ artinya kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidak-jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.[2]
Korupsi juga diartikan perbuatan buruk atau tindakan menyelewengkan dana,
wewenang, waktu untuk kepentingan pribadi, sehingga menyebabkan kerugian bagi
pihak lain. Karena akibatnya yang merugikan itu korupsi digolongkan sebagai
tindak pidana. [3]
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi ialah penyelewengan
atau penggelapan (uang negara atau perusahan dan instansi lainnya). Untuk
kepentingan pribadi atau orang lain.[4] A.A. Yewangoe berpendapat, korupsi itu adalah
sebagai ekstra ordinary crime yaitu
sebagai kejahatan yang luar biasa terhadap kemanusiaan sebab pengaruhnya yang
jahat yang tidak dapat terbendung lagi memasuki berbagai bidang kehidupan.[5]
Jadi, dapat dikatakan bahwa
korupsi itu adalah suatu tingkah laku atau tindakan seseorang ataupun kelompok
yang melanggar norma-norma yang berlaku serta mengabaikan sebuah tanggung jawab
demi kepentingan pribadi.
2.2 Faktor-Faktor Pendorong Tindakan
Korupsi
Melihat semakin merebaknya tindakan korupsi,
maka perlu kita ketahui apa faktor-faktor pendorong tindakan korupsi ini.
Jika
kita lihat dari sudut pastoral, korupsi adalah perilaku yang menyimpang.
Perilaku yang menyimpang merupakan cerminan dari kerohaniannya yang corrupted (buruk).
Dengan kata lain perilaku korupsi merupakan buah dari kehidupan kerohanian yang
tidak terpelihara dengan baik. (Yoh 15:1-5). Perbuatan korupsi adalah
manifestasi dari kehidupan rohani yang tidak sehat. Teori yang relevan
menjelaskan perilaku korupsi adalah kombinasi teori perilaku dan teori
humanistik yang menjelaskan bahwa sebuah tindakan kejahatan seperti korupsi
hanya mungkin terjadi apabila memenuhi dua hal. Pertama, ada kesempatan atau
peluang melakukan kejahatan. Kedua, ada keinginan atau motif untuk melakukan
kejahatan itu sendiri. Jadi teori
kombinasi ini menyatakan, sebuah kejahatan tidak akan pernah terjadi apabila
hanya salah satu syarat yang terpenuhi. Dari sudut pastoral, ketika seseorang
melakukan perbuatan yang merugikan orang lain bukan sebaliknya menyenangkan orang
lain, adalah merupakan penampakan tidak sehatnya dan tidak terpeliharanya hidup
rohani yang bersangkutan dengan baik. (Kis 2:24-47).[6] EQ
(Emotional Quotient) dan ESQ (Emotional and Spiritual Quotient) rendah
nampak dari kejujuran dan integritas sedang bermasalah. Kondisi rohani yang buruk menjelaskan bahwa,
sekalipun jemaat rajin mendengar dasa titah, ke gereja tetapi hal pencurian
tidak kurang. Sehingga bukan faktor eksternal
seperti kurangnya gaji yang menjadi pendorong korupsi melainkan faktor internal
yaitu kondisi hidup rohani yang bersangkutan.
Selain faktor diatas, ada beberapa hal yang
disampaikan oleh Jahenos Saragih dalam buku “Simpul-Simpul Pergumulan Bangsa Dengan Solusinya”, penyebab korupsi
antara lain adalah disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk di dalamnya
lingkungan sosial yang mendesak kebutuhan ekonomi dan sebagainya. Faktor lain
yang dapat menyebabkan korupsi adalah:
-
Ketiadaan
atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu
Memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku.
-
Kelemahan
pelajaran agama dan etika.
-
Kolonialisme,
yakni suatu pemerintahan asing tidaklah
menggugah kesetiaan dan kepatuhan.
-
Kurangnya
pendidikan.
-
Tiadanya
tindakan hukum yang keras.
-
Kelangkaan
lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
-
Perubahan
radikal, yakni tatkala suatu sistem nilai mengalami perubahan radikal.
-
Keadaan
masyarakat, yakni korupsi dalam suatu birokrasi bisa memberikan cerminan keadaan
masyarakat keseluruhan.[7]
2.3 Dampak Tindak Korupsi
Jika kita melihat dari
sudut etika Kristen, korupsi adalah suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan
secara etis karena melanggar norma masyarakat terlebih kehendak Allah. Orang
yang telah melakukan korupsi mungkin telah mengingkari hati nuraninya. Hati
nurani telah diberikan kepada manusia untuk memberi penilaian terhadap diri
kita. Hati nurani membandingkan perbuatan atau kata-kata kita, atau pikiran
kita, atau seluruh keberadaan dengan hukum moral dan kehendak Allah. Dan
kemudian hati nurani itu mengucapkan suatu penilaian yaitu dia memutuskan
apakah kita seturut atau bertentangan kehendak Allah.[8]
Memang Alkitab sangat jelas membicarakan korupsi sebagai masalah sosial. Setiap
kasus korupsi yang dibicarakan dalam Alkitab telah tercakup dalam “sepuluh dasa
Titah”, titah ke delapan misalnya jangan mencuri (Kel. 20:15). Kemudian ada
juga pernyataan tegas bahwa akar segala kejahatan adalah cinta uang (I Tim.
6:10). Di dalam Alkitab begitu banyak dinyatakan tentang dampak negatif jika
uang (kekayaan) mengusai kehidupan manusia (bnd. Ams. 10:2, 11:4; Mat.
6:19-21). Korupsi merugikan dan menyengsarakan atau dengan kata lain menindas
orang lemah. Korupsi mengambil hak orang lain, maka korupsi bertentangan dengan prinsip kasih dan
keadilan terhadap sesama manusia. Dengan demikian korupsi dapat dipandang
sebagai perbuatan yang melanggar hak-hak asasi manusia karena merampas hak
orang lain dan hak publik. Perbuatan ini sangat bertentangan dengan prinsip
kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka dari hal itu, berarti juga menghina
pencipta dari manusia itu (bnd. Ams. 14:31). Padahal Yesus menekankan hukum
kasih terhadap Allah dan sesama (bnd. Kel. 20:2-17, Mat. 22:37-39). Barang
siapa mencoba menyuap seseorang pegawai atau siapapun juga, itu berarti ia
membawa orang itu dalam suatu cobaan untuk berbuat ketidakadilan. Penyuapan
bukan hanya suatu pencobaan untuk
berbuat ketidakadilan, melainkan juga hanya sesuatu ketidakjujuran. Barang
siapa telah menerima uang suap, ia tidak
dapat lagi bersikap berani karena benar “bnd. Mat. 5:37). Sehingga orang yang
demikian selalu diliputi rasa takut karena ia telah berbuat sesuatu yang harus
disembunyikan, sesuatu yang jangan sampai ketahuan, sesuatu yang harus
disimpannya dengan segala macam tipu muslihat dan dusta.[9]
Pada dasarnya korupsi
merupakan sikap ataupun prilaku yang bertendensi negative, seperti yang
dikemukakan Gunner Myrdal sebagai berikut:
1.
Korupsi memantapkan dan memperbesar
masalah-masalah yang menyangkut kurangnya hasrat untuk terjun di bidang usaha
dan mengenai kurang tumbuhnya pasaran nasional.
2.
Korupsi mempertajam permasalahan
masyarakat plural, bersamaan dengan itu. Kesatuan Negara bertambah lemah. Juga
karena turunnya martabat pemerintah.
3.
Korupsi mengakibatkan turunnya disiplin
sosial. Uang suap itu tidak hanya dapat memperlancar prosedur administrasi,
tetapi biasanya juga berakibat adanya kesenjangan untuk memperlambat proses
administrasi agar dengan demikian dapat menerima uang suap.[10]
Selain
itu, implikasi tindak korupsi yakni:
1. Hilangnya modal sosial. Hal ini diakibatkan
karena sangat rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.
2. Hilangnya
modal finansial. Hilang dikatakan disini adalah karena dikorupsi oleh pejabat
dan yang berwenang. Implikasinya, dana-dana yang seharusnya digunakan untuk
membiayai pembangunan beralih ke kantong-kantong pribadi pejabat, sehingga pembangunan
beralih dari yang seharusnya dilakukan untuk membangun fasilitas publik menjadi
pembangunan fasilitas sendiri seperti rumah yang harganya miliaran rupiah. Akibatnya
masyarakat menjadi miskin sarana dan prasarana yang dapat digunakan untuk
memperbaiki kualitas kehidupan mereka.
3. Dampak-dampak
korupsi dalam jangka panjang akan membuat sumber daya manusia mempunyai
kualitas rendah. Indonesia juga bisa kehilangan modal sumber daya manusia yang
unggul, sementara ketiadaan fisik membuat bangsa menjadi miskin secara fisik/
material. Bahkan semakin diperparah dengan
hilangnya sumber daya alam yang dimiliki bangsa karena digunakan untuk membayar
hutang yang dikorupsi. Akibatnya, kita
akan menjadi orang tua yang tidak bertanggung jawab karena mewariskan hutang
kepada anak cucu, sementara mereka tidak pernah menikmati hutang tersebut.
4. Jika
implikasi korupsi ini ditarik pada wilayah global, dalam pengertian persaingan
antarnegara, maka korupsi telah membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
lemah dan tidak kompetitif. Lemahnya sumber daya manusia telah membuat tenaga
kerja Indonesia tidak mampu bersaing di tingkat internasional, karena tidak
mempunyai kemampuan maupun keterampilan yang memadai. Akar penyebabnya adalah
rendahnya subsidi pendidikan. [11]
2.4 Solusi Pemberantasan Korupsi
Dari pemaparan di atas,
maka dapat kita lihat bahwa korupsi telah meninggalkan prinsip-prinsip moral
yang dianut oleh orang Kristen. Kaedah moral itu adalah mencerminkan sifat
Allah. Dan mendasari semua prilaku
manusia dan didasari pada fakta bahwa kita hidup di dalam jagad moral.
Manusia diciptakan dalam gambar dan rupa Allah dan memiliki kodrati dan melihat
korupsi sebagai ketidakjujuran, bentuk penipuan yang telah menguntungkan orang
kaya.[12]
Sehingga itu sangatlah bertentangan etika Kristen. Selain itu, etika Kristen
memandang bahwa korupsi bertentangan dengan keadilan dalam etika Kristen karena
berusaha mengambil hak orang lain demi keuntungan pribadi. Senada dengan hal
itu, korupsi membuat tidak terjadinya
kesejahteraan hidup manusia. Lebih dari itu, korupsi juga dapat pula menciptakan
“allah” lain dalam hidupnya sehingga ia tergantung dan terkekang dan akhirnya
menyembah uang.[13]
Bagaimanakah
solusi pemberantasan tindak korupsi??
Korupsi
ibarat gunung es di atas permukaan air laut. Walaupun kita berhasil
menghancurkan permukaanya, selalu muncul lagi es yang baru sebab di bawah
permukaan air laut masih terdapat bongkahan es yang lebih besar. Jadi, walaupun
kita berhasil memenjarakan koruptor sebanyak-banyaknya akan tetap muncul
koruptor baru sepanjang akar masalah korupsi tidak dihancurkan atau tidak
ditangani dengan baik.[14]
Kalau
akar masalah ada pada kondisi hidup rohani maka tentu jalan keluarnya juga
terletak pada kerohanian. Orang yang melakukan korupsi dilihat sebagai orang
yang kehidupan kerohaniannya buruk sehingga yang dibutuhkan adalah pembenahan
hidup rohani. Kehidupan rohani yang sudah dibenahi dan menjadi baik akhirnya
menjadi faktor pendorong lahirnya perilaku yang baik. Banyak juga cara
mengantisipasi niat korupsi, antara lain dengan jalan menciptakan lingkungan
yang tidak koruptif. Artinya, lingkungan yang tidak memberi peluang timbulnya
korupsi. Melalui pembuatan aturan yang tidak koruptif di segenap aspek
kehidupan tentu harus dilengkapi sanksi yang menjerakan serta ditegakkan secara
benar, tegas, lugas dan tuntas.
Selain
itu, pengenalan perilaku yang tidak koruptif juga perlu ditanamkan sejak dini
pada anak-anak. Ini dimulai di lingkungan keluarga. Begitu juga pendidikan di
dalam masyarakat, baik pada lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan
keagamaan serta pendidikan formal mulai sejak dini. Sampai pada kehidupan bermasyarakat sebab pada dasarnya pendidikan
adalah proses berlanjut bahkan hidup adalah proses belajar.
Pembinaan
rohani adalah merupakan yang paling dasar untuk memberantas korupsi, karena
dengan perobahan atau pembaharuan hati, maka seseorang mempunyai sikap dan
kemampuan untuk tidak terjerumus ke dalam korupsi dan berhenti melakukannya.
Dalam pembinaan rohani ada beberapa hal yang harus disosialisasikan dan
sekaligus menjadi perenungan antara lain:
1. Jabatan,
kuasa dan wewenang adalah merupakan pemberian Allah, maka perlu disadari bahwa
ada tanggung jawab kepada Tuhan (vertical)
dan tidak hanya horizontal (hirarki).
2. Tujuan
hidup dan segala usaha adalah untuk mendapatkan berkat yang menjadi berkat
yaitu berkat yang mendatangkan kesenangan, kebahagiaan, ketenangan hati (bnd.
Ams. 15:16-17; Luk. 12:15, Ibr. 13:5) sementara hasil korupsi tidak akan
menjadi berkat. Perlu kita sadari bahwa bukan jumlah yang kita miliki yang
menentukan kebahagiaan, tetapi bagaimana keadaan hati kita dalam memiliki
banyak atau sedikit. Sedikit apalagi kalau banyak bisa bahagia jika itu berkat
Allah alias halal dan sebaliknya.
3. Akar
masalah adalah hati atau tabiat, maka perlu ada pembaharuan, dan pembaharuan
itu hanya bisa dilakukan Allah dalam kita, melalui pekerjaan Roh Kudus. Dengan
pembaharuan hati yang tidak dapat dipisahkan dengan pertobatan, maka kita bisa
terhindar atau berhenti dari jalan memburu harta dengan menyimpang dari jalan
iman (I Tim. 6:9-10; Mat. 26:41)
Belajar
menikmati yang ada, mensyukuri yang ada, dengan demikian mendatangkan perasaan
puas dengan yang didapatkan dalam segala usaha yang dilakukan (bnd. I Tim.
6:6-8; Ibr. 13:5, Luk. 3:14).[15]
Ada beberapa
penanggulangan yang dapat kita sumbangkan dalam konteks hidup Indonesia saat
ini diantaranya:
-
Lembaga Agama
Lembaga keagaamaan
(gereja) harus mampu kembali kepada visinya yaitu untuk menyuarakan keadilan dan
kebenaran dalam kehidupan ini. Memberikan pembinaan dan memberikan pemahaman
akan korupsi merupakan jalan yang terbaik untuk menyadarkan seseorang dalam
tugas dan tangguhgjawabnya. Dan ini merupakan langkah dasar yang harus
dilakukan gereja dalam memberantas korupsi. Dalam pembinaan dan pemberian
pemahaman ada beberapa hal yang harus di sosialisasikan yaitu: Memberikan
pemahaman dari dampak korupsi dari tinjauan Iman Kristen, Memberikan pemahaman
tentang apa itu korupsi, harus memulai sebuah perubahan yang baru dari dalam
dirinya sendiri.
-
Lembaga Pendidikan
Pendidikan harus mampu memberikan kontribusi yang konkrit, agar
pendidikan di negara ini tidak jauh terhadap realitasnya. Pertanyaannya kenapa
harus pendidikan? Karena institusi pendidikanlah yang mengajarkan kepada
peserta didik arti ilmu pengetahuan bagi diri sendiri dan orang lain. Artinya
melalui pendidikan yang akan menjelmakan dirinya dalam realitas nyata kehidupan
manusia. Pendidikan yang banyak dilakukan di sekolah-sekolah dan perguruan
tinggi hampir tidak mengajarkan makna filosofis korupsi kepada peserta
didiknya. Seharusnya Pendidikan tidak saja mengembangkan dimensi kognitif
tetapi juga menumbuhkan dimensi afektif dan psikomotorik.
-
Birokrat
Pemerintah
Aparat pemerintah sudah waktunya mensosialisasikan perilaku
antikorupsi dalam seluruh jabatan. Peranan pemimpin dalam menjadikan pendidikan
antikorupsi ini sebagai etos kerja yang absolute sangat diperlukan. Artinya
seraya menjadikan etos kerja bagi bawahan pejabat tertinggi di setiap lembaga
pemerintah harus memberikan teladan sikap antikorupsi.
-
Peran Masyarakat
Pendidikan di Sekolah sudah saatnya beranjak
dari persoalan teoritis kepada persoalan yang nyata dan dihadapi langsung oleh
peserta didik. Pesan-pesan moral harus di tonjolkan. Peserta didik dilatih
untuk dapat menganalisis persoalan lingkungan sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Pendidikan yang menyenangkan dan langsung ke lapangan adalah
kunci utama. Pemerintah dan masyarakat sudah selayaknya memberikan contoh yang
baik kepada anak-anak lingkungan sekitar. Penekanan untuk mengikuti prosedur
yang berlaku dan tidak mudah terpengaruh untuk mencari jalan pintas dalam
urusan biokrasi dan keberanian untuk menolak memberi uang pelican yang diminta
oleh pejabat atau aparat dalam segala urusan. [16]
2.4
Tindak
Korupsi dan Penanggulangannya menurut Kimberly Aan Elliot
Adapun
pembahasan pada poin 2.4 ini saya angkatkan dari buku yang berjudul ‘korupsi
dan Ekonomi Dunia’ yang ditulis seorang Peneliti Utama pada Lembaga Ekonomi
Internasional (Institute for International Economics) di Amerika, Kimberly Ann
Ellliott [17]
Masalah
korupsi seperti api kebakaran di seluruh dataran politik dunia. Dikatakan bahwa
korupsi sebagai suatu hal yang berhubungan dengan kebijakan industry. Gaji
pegawai yang rendah dibandingkan dengan gaji di sektor swasta. Maksudnya bila
gaji pegawai negeri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari,
mungkin mereka terpaksa menggunakan jabatan mereka untuk menerima suap. Negara
harus mempertimbangkan hal-hal seperti ini di saat menghadapi pilihan yang
sukar apakah akan memotong gaji pegawai negeri yang terlalu banyak atau akankah
mengurangi jumlah pegawai itu.
Elliot
menuliskan ada beberapa sebab-sebab korupsi yang tidak berasal dari pemerintah
yaitu sebagai berikut:
-
Karunia sumber daya alam, merupakan
contoh yang sering dikemukakan dari sebuah sumber keuntungan, karena sumber itu
secara khas dapat dijual dengan harga yang jauh melebihi ongkos pemanfaatannya.
Ekonomi yang kaya dengan sumber daya alam lebih cenderung dihinggapi perilaku
perilaku keuntungan yang berlebihan dibanding dengan ekonomi yang sedikit
memilikinya.
-
Factor sosiologis, di dalam masyarakat
yang hubungan-hubungan di dalamnya lebih dipersonalkan maka para pejabat
pemerintah lebih cenderung memberikan bantuan kepada teman dan keluarga.
Dalam
buku ini dipaparkan juga akibat korupsi. Adapun akibat-akibat korupsi adalah:
-
Korupsi menurunkan pertumbuhan ekonomi. Di
mana korupsi terjadi, pengusaha sadar bahwa sebagian dari hasil investasi
mereka di masa depan mungkin akan diminta oleh pejabat yang korup. Pembayaran
uang suap sering kali diperlukan sebelum dikeluarkannya perizinan yang
diperlukan. Karena itu para investor mungkin menyadari bahwa korupsi itu
sejenis pajak, yaitu suatu jenis pajak yang sifatnya amat merusak karena perlu
dirahasiakan dan serba ketidakpastian yang menyertainya, suatu hal yang
mengurangi dorongan untuk melakukan investasi.
-
Korupsi juga menciptakan pemerintahan
yang buruk melalui penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan. Apabila pemerintah
mengalihkan sumbernya kepada proyek yang tidak berguna dan tidak perlu diberi
prioritas yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan rakyat, hal ini merupakan
jaminan bahwa negara akan tetap terbelakang dan miskin.
-
Korupsi juga memungkinkan timbulnya
infrastruktur dan layanan yang lebih rendah mutunya. Misalnya pejabat yang
korup mungkin akan mengizinkan pembangunan dengan menggunakan bahan yang murah
dan di bawah standar dalam pembangunan gedung atau jembatan. Kontraktor yang paling tidak efisien namun
memiliki kemampuan terbesar untuk memberikan uang suap mungkin mendapatkan
kontrak pemerintah. Karena itu, korupsi merendahkan kesejahteraan umum rakyat
karena menaikkan harga, menghancurkan tatanan produksi, dan mengurangi
konsumsi. Hal ini akan merugikan banyak pihak.
-
Korupsi menyebabkan pemborosan dan
ketidakefisienan ekonomi karena dampaknya terhadap alokasi sumber-sumber yang
ada. Korupsi menyebabkan pemberian layanan secara diskriminatif dan distorsi
ekonomi melalui alokasi yang tidak tepat dan pemborosan sumber.
-
Korupsi adalah penghalang bagi investasi
asing dan bantuan asing. Itulah sebabnya kenapa negara-negara yang korupsinya
mewabah dan lembaga-lembaganya tidak berfungsi sering kali tidak menarik minat
investor.
Elliott
menuliskan bahwa masalah korupsi tidak dapat diselesaikan secara mudah dan
cepat. Sumber dan akibat korupsi berbeda-beda sesuai dengan tempatnya dan
masing-masing negara harus menentukan prioritasnya sendiri dan membentuk
tanggapannya berdasarkan kebutuhan khususnya. Namun pada umumnya reformasi yang
meningkatkan pertanggungjawaban politik dan persaingan ekonomi merupakan
pengendali untuk mengurangi kesempatan untuk melakukan korupsi. Pemilihan umum
yang jelas, kejelasan yang lebih besar dalam pembuatan keputusan dan pers yang
bebas meningkatkan biaya potensi korupsi. Sedangkan ekonomi yang terbuka
mengurangi keuntungan potensialnya. Reformasi yang menanggulangi korupsi
adalah:
-
Reformasi kehakiman untuk menjamin
kejujuran dan kebebasan dan membangun kapasitas,
-
Reformasi pegawai negeri dan kelembagaan
lainnya untuk memperbaiki arus informasi
dan meningkatkan dorongan untuk kejujuran dan kinerja dan dalam pada itu
mengurangi ketidakjujuran.
-
Menyederhanakan sistem pajak dan
peraturan yang mengaturnya
-
Memperkuat undang-undang keuangan
kampaye
-
Memperkuat lembaga-lembaga masyarakat
madani, termasuk media massa, LSM. Dan kelompok-kelompok lain di tingkat
rakyat.
Memang
memerangi korupsi adalah suatu upaya yang demikian sukarnya, maka penyelesaian
yang sederhana tidak akan ada. Korupsi harus diserang dari banyak sisi. Perlu
penegakan secara lebih baik mengenai larangan menyuap para pejabat dalam negeri
dan dengan mengadakan undang-undang yang baru yang melarang penyuapan pejabat
negara lain; dengan mengakhiri pembebasan pajak uang suap, dengan
mengaudit,memeriksa dalam bentuk yang lebih ketat dan peraturan tentang pembeberan
keadaan perusahaan, dengan mengadakan beberapa perubahan dalam undang-undang
kerahasiaan bank, dengan memberikan akses yang lebih mudah pada informasi
pemerintah dan kebebasan yang lebih besar untuk mengkritik pejabat pemerintah,
dan dengan menentukan secara lebih jelas peraturan-peraturan tentang
pertentangan kepentingan dan etika.
2.3
Kebijakan Dan Perundangan Pemberantasan
Korupsi Indonesia
Strategi pemberantasan korupsi melalui penataan
kebijakan dan peraturan- perundangan dilakukan oleh banyak negara.
Pemberantasan korupsi memerlukan perangkat undang-undang anti korupsi yang
efektif karena dengan instrumen hukum ini dapat diberikan jaminan
kepastian hukum dan jaminan keadilan yang lebih objektif. Penataan
kebijakan dan perundangan juga termasuk menata pranata hukum, sehingga
membangun kapasitas hukum yang lebih berwibawa. Dengan adanya kapasitas
hukum yang berwibawa, citra pemberantasan korupsi akan secara otomatis membaik.
Sejak tahun 2002, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
secara formal merupakan lembaga anti korupsi yang dimiliki Indonesia.
Pembentukan KPK didasari oleh Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi. Sesuai dengan undang-undang tersebut, KPK memiliki tugas
melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi; supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-tindakan pencegahan
tindak pidana korupsi; dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara. Sementara itu, kewenangan yang dimiliki oleh KPK adalah
mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi, menetapkan sistem pelaporan[18]
Dengan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, KPK
merupakan ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia. Sehubungan dengan
hal ini, visi KPK adalah "Mewujudkan Indonesia yang Bebas Korupsi".
Visi ini menunjukkan suatu tekad kuat dari KPK untuk segera dapat menuntaskan
segala permasalahan yang menyangkut Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Pemberantasan korupsi memerlukan waktu yang tidak sedikit mengingat masalah
korupsi ini tidak akan dapat ditangani secara instan, namun diperlukan suatu penanganan
yang
komprehensif
dan sistematis. Sedangkan misi KPK ialah "Penggerak Perubahan untuk
Mewujudkan Bangsa yang Anti Korupsi". Dengan pernyataan misi tersebut
diharapkan bahwa komisi ini nantinya merupakan suatu lembaga yang dapat
"membudayakan" anti korupsi di masyarakat, pemerintah dan swasta di
Indonesia. Namun demikian, kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan kasus-kasus korupsi di Indonesia bukan hanya terletak di KPK saja.
Saat ini lembaga Kepolisian dan Kejaksaan juga memiliki wewenang yang sama
dalam hal penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan Kejaksaan memiliki kewenangan
melakukan penuntutan di pengadilan. Tersebarnya kewenangan di sejumlah lembaga
ini memiliki konsekuensi tertentu yang dapat berimplikasi positif maupun
negatif. Implikasi positifnya antara lain adalah kasus-kasus korupsi dapat
cepat ditangani tanpa harus menunggu tindakan dari suatu lembaga tertentu.
Masyarakat juga dapat melaporkan indikasi kasus dugaan korupsi kepada
lembaga-lembaga terkait baik itu
III.
Refleksi
Teologis
Kasus
korupsi sudah merajalela dalam kehidupan manusia masa kini. Terkhusus di Indonesia,
tindakan korupsi memang nyata adalah suatu
pelanggaran hukum, akan tetapi di negeri ini hal korupsi sudah menjadi suatu kebiasaan. Korupsi di Indonesia
berkembang dan tumbuh subur terutama di kalangan para pejabat dari level
tertinggi pejabat negara, sampai ke tingkat RT yang paling rendah. Bukan hanya
itu, dalam ruang lingkup gereja aksi korupsipun sudah banyak terjadi. Bukan
hanya korupsi materi tetapi juga korupsi waktu. Pemimpin-pemimpin gereja seharusnya
menyuarakan kebenaran dan keadilan. Namun hal ini dapat terjadi karena mental
yang bobrok dari seorang pemimpin misalnya saja adanya sifat tamak atau tidak
berkepuasan. Sebagian besar para koruptor adalah orang yang sudah cukup kaya.
Namun, karena ketamakannya, mereka masih berhasrat besar untuk memperkaya diri.
Sifat tamak ini biasanya berpadu dengan moral yang kurang kuat dan gaya hidup
yang konsumtif. Praktek suap dapat memutar balikkan fakta atau keputusan
peradilan. Yang salah menjadi benar dan yang benar menjadi salah. Namun satu
hal yang pasti adalah keputusan atau keuntungan yang didapat dari tindakan ini
tidak akan mencapai pada tingkat kepuasan dan kebenaran yang sejati. Tindak
korupsi/suap menjadikan manusia yang rakus akan kuasa uang (bnd. 1 Tim. 6: 10)
dan akan berusaha mengumpulkan harta secara terus-menerus tanpa memperhatikan
pelayanan dan tanggung jawab kepada Tuhan. Matius 6: 33 mengatakan ‘tetapi carilah dahulu kerajaan Allah dan
kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu’. Jangan hanya
mencari kenikmatan dunia yang bersifat sementara atau tidak kekal. Belajar mencukupkan diri dan bersyukur dengan
apa yang kita miliki dapat menjadi kunci untuk mengurangi tindakan korupsi di
lingkungan kita. Pembenahan rohani kita akan membimbing kita untuk menjadi lebih baik
dan melakukan apa yang berkenan padaNya. Sekalipun ada kesempatan atau objek
yang bisa dikorupsikan tetapi jika Allah yang menjadi pemimpin kita, maka
tindak korupsi tidak akan pernah terjadi. Mari menjadi agen-agen pembawa damai.
IV.
Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa korupsi adalah suatu tingkah laku
atau tindakan seseorang ataupun kelompok yang melanggar norma-norma yang
berlaku serta mengabaikan sebuah tanggung jawab. Dengan kata lain juga,
koruptor dapat dikatakan orang-orang yang telah menyimpang dari nilai-nilai
keagamaan dan sudah tidak mempunyai moral. Etika Kristen menentang dan melawan
sebuah tindakan atapun sikap korupsi, karena sudah melawan kehendak Allah.
Korupsi juga dapat menyengsarakan banyak orang bahkan sampai pada anak cucu
kita. Perilaku
korupsi merupakan buah dari kehidupan kerohanian yang tidak terpelihara dengan
baik. Pembinaan rohani adalah merupakan yang paling dasar untuk memberantas
korupsi, karena dengan perobahan atau pembaharuan hati, maka seseorang
mempunyai sikap dan kemampuan untuk tidak terjerumus ke dalam korupsi dan
berhenti melakukannya. Perlu ada kerja sama dari lembaga agama, pemerintah,
lembaga pendidikan maupun masyarakat untuk memberantas korupsi.
V.
Daftar
Pustaka
Adeney,Bernard.
T. Etika Sosial Lintas Budaya,
Yogyakarta: Kanisius, 2000
Hadi
Wiyono, Pendidikan Kewarganegaraan SMP VIII, Jakarta: Interplus, 2007
J.
Foste Richard r, Uang, Sex, dan
Kekuasaan, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1987
Kimberly
Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998
Lumbantoruan
Magdalena, Ensiklopedi Nasional Indonesia,
Jakarta: PT Delta Pamungkas, 1997
Manurung Kaleb, “Penanggulangan Masalah
Judi dan Korupsi” dalam Jurnal Teologi
STT Abdi Sabda Edisi XIV, Medan: STT Abdi Sabda, 2005
Poerwadaminta,W.J.S.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1992
Rianto,Bibit S Koruptor, go hell: Mengupas anatomi korupsi di Indonesia, Penerbit hikmah, 2009
Saragih Jaharianson, Korupsi Ditinjau Dari sudut Pastoral dalam
Jurnal Teologi STT Abdi Sabda Edisi XIV, Medan, 2005
Saragih
Jahenos, Simpul-Simpul Pergumulan Bangsa
Dengan Solusinya, Jakarta: Suara GKYE Peduli Bangsa, 2005
Schoorl
J.W., Modernisasi, Jakarta: PT
Gramedia, 1984
Sunarno,
Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik, Jakarta: Lembaga administrasi
Negara Pusat kajian Administrasi Nasional, 2006, hlm. 73
White
Jerry, Kejujuran, Moral dan Hati Nurani,
Jakarta: BPK-GM, 1999
Winarno,Budi Globalisasi: Peluang atau ancaman bagi Indonesia, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008
Yewangoe A.A., Tidak Ada Negara Agama: Satu Nusa Satu Bangsa, Jakarta: BPK-GM,
2009
Sumber Internet:
http://www.srie.org/2011/11/korupsi-di-indonesia-1-peringkat.html diakses 2
September 2013
[1] http://www.srie.org/2011/11/korupsi-di-indonesia-1-peringkat.html diakses 2
September 2013
[2] Jahenos Saragih, Simpul-Simpul
Pergumulan Bangsa Dengan Solusinya, Jakarta: Suara GKYE Peduli Bangsa,
2005. hlm. 80
[3] Magdalena Lumbantoruan, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT Delta Pamungkas, 1997,
hlm.149
[4] W.J.S.
Poerwadaminta, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1992, hlm. 462
[5] A.A. Yewangoe, Tidak Ada Negara
Agama: Satu Nusa Satu Bangsa, Jakarta: BPK-GM, 2009, hlm. 275
[6]Jaharianson
Saragih, Korupsi Ditinjau Dari sudut
Pastoral dalam Jurnal Teologi STT Abdi Sabda Edisi XIV, Medan, 2005, hlm.
34
[7] Jahenos Saragih, Op. Cit.,
hlm. 80-81
[8] Jerry
White, Kejujuran, Moral dan Hati Nurani,
Jakarta: BPK-GM, 1999, hlm. 16
[9] Jahenos
Saragih, Op. Cit., hlm. 87
[10] J.W.
Schoorl, Modernisasi, Jakarta: PT
Gramedia, 1984, hlm. 183-184
[11] Budi
Winarno, Globalisasi: Peluang atau
ancaman bagi Indonesia, Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2008, hlm. 66-68
[12] Bernard.
T. Adeney, Etika Sosial Lintas Budaya,
Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 218
[13] Richard
J. Foster, Uang, Sex, dan Kekuasaan,
Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1987, hlm. 28
[14]Bibit s rianto, Koruptor, go hell: Mengupas anatomi korupsi di Indonesia , Penerbit
hikmah, 2009, hlm. 26
[15] Kaleb
manurung, “Penanggulangan Masalah Judi dan Korupsi” dalam Jurnal Teologi STT Abdi Sabda Edisi XIV, Medan: STT Abdi Sabda,
2005, hlm. 77-78
[16] Hadi
Wiyono, Pendidikan Kewarganegaraan SMP
VIII, Jakarta: Interplus, 2007, hlm. 69
[17]Kimberly
Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998, hlm. 139
[18]Sunarno, Strategi Penanganan Korupsi di
Negara-negara Asia Pasifik, Jakarta:
Lembaga administrasi Negara Pusat kajian Administrasi Nasional,
2006, hlm. 73